Guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” Masikah?

HARIANHALUAN.ID – Guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan lahirlah sebuah lagu dengan judul Hymne Guru oleh Sartono, begitu besarnya jasa para guru, bahkan setiap hari guru, dari kalangan menengah ke atas menyebut, kalau tidak karena guru, saya tidak seperti ini, tidak menjadi orang, tidak menjadi pejabat dan lain sebagainya. Begitu besar jasa para guru, namun ketika hari guru sudah berlalu sepertinya ungkapan ungkapan tadi menghilang dibawa angin dan ditelan bumi.

Betapa tidak, buktinya guru dapat serangan dari berbagai lini, bahkan orang-orang yang mengeluarkan ungkapan bahwa guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa itu ikut mengkebiri profesi guru, rasa iri dan benci menerkam para guru. Guru dimasukkan dalam penjara, guru diserang orang tua murid, guru diancam dengan HAM dan lain sebagainya. Itulah nasib guru hari ini.

Kalau dilihat guru pada zaman sekarang dengan guru zaman dahulu, jauh berbeda, bedanya bukan kita lihat dari segi negatifnya, kebetulan penulis terlahir dari rahim seorang ibu yang berprofesi sebagai guru, begitu pula pendamping hidup penulis juga seorang guru dan bahkan dalam keluarga besar dikelilingi oleh para guru. Namun tulisan ini lahir bukan karena keluh kesah sang pendamping, tetapi penulis melihat dari fenomena yang terjadi pada guru guru.

Kata-kata guru sangat menyanjung seorang yang berprofesi guru, kata-kata guru merupakan kata-kata yang sangat terhormat, berbeda dengan kata-kata seorang pejabat, kata-kata kepada seorang yang kaya raya, begitu terhormatnya profesi seorang guru di tengah-tengah masyarakat.

Dulu, ketika penulis masih belum masuk ke dunia pendidikan atau belum bersekolah, penulis sering dibawa oleh ibu penulis ke sekolah, mulai dari pagi sampai jam pulang siangnya, karena dulu anak-anak sekolah pulang siang hari bahkan untuk kelas satu dan kelas dua SD pulangnya pukul 10, apabila jam masuk sekolah pagi hari, sedangkan yang masuk jam sekolahnya pukul 10, pulangnya pukul 12 siang.

Hal itu terjadi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kekurangan ruangan untuk belajar dan tenaga pengajar serta fasilitas lainnya, jauh berbeda dengan kondisi saat ini yang sudah bisa dikatakan fasilitasnya memadai dan sangat memadai sekali.

Dengan berbagai keterbatasan itu, para guru terus melaksanakan tugasnya dengan baik, dapat dikatakan sukses, buktinya terlahir lah orang orang hebat, pejabat, pengusaha, para ahli, tokoh-tokoh nasional dan lain sebagainya.

Tetapi menurut pengamatan penulis (penulis bukan seorang ahli atau pengamat), tugas guru pada zaman dahulu (sekitar tahun 70 an 80 an), guru itu hanya dibebani dengan tugas mendidik anak anak disekolah. Para guru tugasnya adalah untuk mengajar di sekolah, mendidik anak anak disekolah dan jauh dari beban beban kerja lainnya, jauh dari tugas tugas ini dan itu nya, bahkan untuk pergi ke Dinas Pendidikan saja sekali dalam sebulan Wallahu alam, artinya memang guru itu difungsikan sesuai dengan fungsinya yaitu mengajar dan mendidik anak-anak agar mendapatkan ilmu dan moral.

Pada waktu itu, gaji seorang guru hanya Rp60 ribu (terlepas dari nilai uang), harga BBM jenis premium kalau tidak salah pada waktu itu sekitar Rp400, tetapi penulis bukan menyorot masalah gaji, tetapi fokus tugas guru memang mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah.

Kalau dilihat subjeknya, anak-anak didik punya moral yang sangat tinggi pada waktu itu, untuk bertemu dengan guru saja takut, jangankan untuk membawa guru berkelahi, jangankan untuk mengeluarkan kata-kata kotor terhadap guru. Kebetulan guru penulis tinggal tidak jauh dari tempat tinggal penulis, begitu melihat ibu guru mau lewat jalan kaki di depan rumah penulis, penulis langsung lari ke dalam rumah, takut ini bukan berarti takut di marahi, tetapi takut dengan artian sangat hormat dan segan terhadap guru. Begitu tingginya rasa hormat anak-anak pelajar kepada seorang guru.

Guru pada waktu itu tidak pernah diancam dengan HAM, guru tidak pernah dibawa ke meja hijau, guru tidak pernah mendapat ancaman, guru tidak pernah dipenjara karena mendidik anak di sekolah, guru sangat dihormati. Ketika murid melapor di rumah bahwa di sekolah dimarahi guru, malahan orang tua menambah kemarahannya sama anak. Hasilnya, anak-anak sangat bermoral dan beretika.

Begitu pula dengan kurikulum, jauh berbeda dengan kurikulum zaman sekarang yang penuh dengan pergantian, belum berjalan dengan baik, kurikulum sudah diganti lagi, belum matang pelajaran berdasarkan kurikulum, ganti lagi, yang paling parahnya lagi menyalahartikan kurikulum seperti saat ini kurikulum merdeka yang disalahartikan oleh para siswa dan orang tua, yang menganggap kurikulum merdeka itu, anak-anak boleh semaunya saja di sekolah.

Kalau penulis lihat, akhir-akhir ini yang ada adalah cemburu, iri dan dengki terhadap guru, apakah orang itu melihat dari jam kerja, penghasilan dan lain sebagainya. Kalau dilihat penghasilan, dibandingkan dengan negara luar, gaji guru di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan di atas bahwa pp guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Maka guru saat sekarang ini ditambah dengan beban kerja diluar dari tugas wajib sebagai seorang guru yang mengajar dan mendidik anak-anak.

Apakah itu tugas naik pangkat yang begitu banyak, apakah itu tugas untuk menerima tunjangan yang seratus ribu itu, banyak lagi tugas ini dan itu nya yang tidak relevan dengan fungsi guru. Bagaimana melahirkan anak anak bangsa yang cerdas dan bermoral ketika guru ditugasi dengan pekerjaan pekerjaan diluar tugas guru.

Apalagi saat ini ada yang namanya guru penggeraklah, kalau penulis tanya kepada guru-guru yang tidak masuk ke dalam guru penggerak, sampai saat ini manfaat guru penggerak untuk pendidikan belum ada, manfaatnya hanya untuk guru penggerak itu sendiri, karena ilmu yang didapatkannya hanya untuk diri guru penggerak itu sendiri.

Bahkan, tugas pokok yang bersangkutan (guru penggerak) sudah tertinggal atas kesibukan-kesibukan yang diberikan terhadap guru penggerak itu sendiri, sebaliknya penulis bertanya lagi kepada guru penggerak itu sendiri, jawabannya adalah memang capek pak, bahkan guru tersebut itu mengaku ia sehari-hari hanya disibukkan di depan laptop, bukan disibukkan di hadapan murid-muridnya. Timbul pertanyaan penulis, apakah itu tujuan guru dan bahkan penulis pernah pertanyakan kepada suatu lembaga yang mengurus mutu pendidikan, apakah pemerintah melalui lembaga ini tidak melihat ke bawah, apakah tidak ada evaluasi, lihatlah ke bawah secara non formil, apa yang terjadi sebenarnya akibat program program tersebut, informasi informasi riil yang ada di bawah atau di tengah-tengah masyarakat itu akan dapat mengungkapkan apa yang sudah terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Bahkan penulis sangat miris melihat seorang guru yang hanya untuk mendapatkan tanda tangan seorang Kepala Dinas harus mendatangi Dinas Pendidikan, artinya guru tersebut harus meninggalkan sekolah, harus meninggalkan anak didiknya, harus meninggalkan tugas pokoknya. Padahal hal itu bisa ditugasi kepada tenaga tata usaha yang ada di sekolah secara teknis bisa diatur oleh kepala sekolah, bagaimana guru tersebut tidak disibukkan lagi dengan tugas-tugas diluar tugas pokoknya.

Bahkan untuk naik pangkat saja seorang guru harus melalui beban tugas yang berat secara administrasi, padahal guru tersebut sudah menjalankan tugas sebagai mestinya seorang guru, harus ada ini dan itunya, harus melengkapi ini dan itunya, jelas hal itu sangat menggangu tugas pokoknya, padahal penulis melihat syarat syarat tersebut hanya syarat formalitas yang bisa diurus oleh tata usaha sekolah.

Dengan sudah dilantiknya Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, dengan Kabinet Merah Putih-nya, tertumpang banyak harapan-harapan rakyat Indonesia khususnya bidang pendidikan.

Tidak ada lagi guru yang diketapel matanya oleh orang tua murid, tidak ada lagi guru mendapat perlakuan kasar dari murid dan yang paling menyedihkan terkahir adalah kasus guru Suryani.

Tidak ada lagi guru yang harus berjuang terlebih dahulu baru sampai ke sekolah untuk mengajar, tidak ada lagi guru yang harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah yang akhirnya waktunya sudah habis di luar sekolah pada jam sekolah.

Harapan-harapan rakyat Indonesia itu sudah mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, salah satunya adalah mengurangi beban tugas guru di luar tugas pokoknya yaitu bersama murid untuk mengajar dan mendidik anak-anak. Mudah-mudahan ungkapan dari Pak Menteri bukan hanya ungkapan-ungkapan manis saja, tetapi rakyat Indonesia menunggu bukti nyata agar mutu pendidikan lebih baik, moral anak-anak bangsa lebih tinggi, agar anak-anak lebih beretika. Mari kita tunggu gebrakan itu pada momentum Hari Guru 2024. Selamat Hari Guru. (*)

Oleh: Maryadi (Wartawan Muda)

Exit mobile version