Oleh : Prof. Dr. Herri (Ketua Program S3 Manajemen FEB Unand)
Keberhasilan seorang pemimpin tercermin dari sejauh mana arahan dijalankan dengan penuh kesungguhan dan larangan ditaati dalam mencapai tujuan bersama. Namun, banyak pemimpin menghadapi kendala dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien karena bawahan tidak sepenuhnya bergerak sesuai arahan atau melaksanakan tugas tanpa komitmen. Kepatuhan bawahan terhadap pemimpin sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin dalam memengaruhi dan menggerakkan mereka.
Kekuatan (power) yang dimiliki pemimpin menjadi faktor kunci dalam kepemimpinan yang efektif. Dalam teori kepemimpinan, terdapat berbagai sumber kekuatan (power sources) yang dapat digunakan untuk mengarahkan dan memobilisasi anggota organisasi. Semakin beragam dan optimal penggunaan sumber kekuatan ini, semakin tinggi efektivitas kepemimpinan. Sebaliknya, keterbatasan dalam memanfaatkan kekuatan akan mengurangi pengaruh dan efektivitas seorang pemimpin.
Puasa Ramadan bertujuan membentuk individu yang bertakwa dan berkarakter unggul, baik dari aspek jasmani, rohani, maupun perilaku. Dalam konteks kepemimpinan, Ramadan turut berkontribusi dalam membentuk manusia sebagai khalifah yang amanah, berintegritas, dan mampu memimpin dengan baik di muka bumi.
Sumber Kekuatan
Berbagai sumber kekuatan untuk mempengaruhi bawahan atau mitra kerja dapat dimiliki dan digunakan oleh pimpinan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sumber kekuatan dapat berasal dari legalitas, sumber ini bersumber dari wewenang formal yang dimiliki oleh pemimpin berdasarkan aturan atau sistem yang berlaku. Pemimpin dengan kekuatan legalitas memiliki hak untuk memberikan perintah dan mengambil keputusan karena posisi yang dimilikinya, baik melalui pemilihan maupun penunjukan. Namun, kepemimpinan yang hanya bertumpu pada legalitas tanpa dukungan aspek lain sering kali lemah, karena pengikut tidak mengikuti dengan sepenuh hati, melainkan hanya karena kewajiban struktural.
Kekuatan kepemimpinan lainnya berasal dari pengetahuan dan kompetensi, sumber ini menjadi faktor penting dalam efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memiliki wawasan luas dan pemahaman mendalam tentang bidang yang dipimpinnya akan lebih dituruti dan dihormati oleh pengikutnya. Dengan kompetensi yang kuat, seorang pemimpin mampu memberikan arahan yang jelas, menyelesaikan masalah dengan tepat, serta mengambil keputusan yang kredibel dan berbasis data.
Pemberian penghargaan dan hukuman merupakan sumber kekuatan yang dapat digunakan pimpinan untuk mengarahkan bawahan. Seorang pemimpin dapat mempengaruhi orang lain dengan menawarkan insentif bagi mereka yang mencapai target atau memberikan sanksi bagi yang melanggar aturan. Kekuatan ini bisa efektif dalam jangka pendek, tetapi jika terlalu diandalkan, dapat menciptakan budaya kepatuhan yang bersifat transaksional, bukan karena keyakinan terhadap visi dan nilai yang dibawa oleh pemimpin.
Kekuatan kepemimpinan bersumber paksaan, sumber kekuasaan yang bersumber dari paksaan sering kali digunakan oleh pemimpin yang mengandalkan otoritasnya untuk memaksa pengikut agar mematuhi seluruh arahan yang disampaikan. Kekuatan ini erat kaitannya dengan legalitas, karena pemimpin yang memiliki wewenang formal sering kali merasa berhak untuk menekan atau memaksa pengikut agar mengikuti instruksi. Meskipun dalam situasi tertentu kekuatan ini bisa menciptakan kepatuhan, dalam jangka panjang pendekatan ini dapat menyebabkan ketidakpuasan, perlawanan, dan bahkan menurunkan kinerja organisasi.
Sumber kekuatan lainya adalah dari referensi, seorang pimpinan itu dituruti dan diikuti karena sang pemimpin adalah referensi, idola, teladan atau panutan bawahan. Pemimpin yang menjadi idola dan suri tauladan akan dengan mudah mengarahkan dan mengkoordinasi bawahan. Tindak tanduk, perilaku dan pemikiran pimpinan akan jadi role model bagi anggota organisasinya. Dalam contoh sederhana, terlihat dari banyak yang mengikuti gaya hidup, penampilan, model pakaian serta perilaku dari seorang public figure. Hal ini terjadi karena seorang public figure adalah merupakan idola dan referensi bagi mereka yang mengikutinya. Hal yang sama berlaku juga untuk pemimpin yang menjadi referensi atau idola bagi bawahan.
Melalui Keteladanan
Kekuatan referensi adalah bentuk kepemimpinan yang didasarkan pada keteladanan, integritas, dan kredibilitas moral seorang pemimpin. Pemimpin dengan kekuatan ini tidak hanya dihormati karena jabatannya, tetapi lebih karena nilai-nilai, karakter, dan tindakan nyata yang mereka tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah Muhammad saw adalah contoh utama dari pemimpin yang memiliki kekuatan referensi yang luar biasa. Beliau tidak hanya diikuti karena statusnya sebagai Nabi, tetapi juga karena keteladanan, kejujuran, serta kesesuaian antara ucapan dan perbuatannya. Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al-Ahzab: 21). Kepemimpinan Rasulullah tidak didasarkan pada paksaan, tetapi pada pengaruh moral dan spiritual yang kuat, yang membuat pengikutnya dengan sukarela meneladani dan mengikuti setiap petunjuknya.
Dalam konteks modern, pemimpin yang memiliki kekuatan referensi akan lebih dihormati dan diikuti dengan sukarela. Mereka tidak perlu bergantung pada ancaman atau insentif untuk mendapatkan loyalitas pengikutnya, karena mereka telah membangun kepercayaan dan kredibilitas yang tinggi. Pemimpin yang memiliki kekuatan referensi akan tetap dihormati bahkan setelah mereka tidak lagi memegang jabatan formal, karena pengaruh mereka bersumber dari karakter dan nilai-nilai yang telah mereka tunjukkan selama kepemimpinannya.
Sumber Kekuatan Referensi
Puasa Ramadan merupakan salah satu instrumen yang efektif dalam membangun karakter pemimpin dengan kekuatan referensi yang kuat. Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga melatih kejujuran, disiplin, empati, dan kesabaran—nilai-nilai yang esensial dalam kepemimpinan yang efektif.
Pertama, puasa melatih kejujuran. Seorang muslim yang berpuasa tetap menahan diri dari makan dan minum meskipun tidak ada yang melihat. Kejujuran yang terlatih dalam puasa ini menciptakan pemimpin yang jujur dalam ucapan dan perbuatannya, sehingga membangun kepercayaan dari pengikutnya.
Kedua, puasa mengajarkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Seorang pemimpin yang konsisten dalam menjalankan nilai-nilai yang ia sampaikan akan lebih mudah dihormati dan diikuti. Puasa mengajarkan kesabaran dan keteguhan dalam menjalankan komitmen, sehingga membentuk karakter pemimpin yang dapat diandalkan dan memiliki integritas tinggi.
Ketiga, puasa menanamkan empati dan kepedulian sosial. Dengan merasakan lapar dan haus, seseorang lebih memahami penderitaan orang lain, yang pada akhirnya membentuk pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan pengikutnya. Kepemimpinan yang berbasis empati akan lebih efektif karena pemimpin memahami kebutuhan dan aspirasi bawahannya, sehingga mampu membangun hubungan yang lebih erat dengan mereka.
Keempat, puasa melatih ketahanan mental dan spiritual. Seorang pemimpin yang memiliki ketahanan diri yang baik akan lebih mampu menghadapi tantangan dan tekanan dalam kepemimpinan. Kemampuan untuk tetap tenang dan berpikir jernih dalam situasi sulit adalah salah satu kualitas utama pemimpin yang efektif.
Realitas Kepemimpinan Saat Ini
Dalam realitas saat ini, banyak pemimpin yang kehilangan efektifitas karena tidak mampu dalam mengarahkan dan mengajak bawahan atau mitra secara bersama menuju cita cita yang ditetapkan. Hal ini terutama karena mereka hanya mengandalkan kekuatan legalitas tanpa diiringi dengan sumber kekuatan lainnya termasuk tidak memiliki dan tidak membangun kekuatan yang membuat mereka menjadi referensi atau tauladan bagi anggotanya. Banyak pemimpin yang lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan masyarakat luas. Akibatnya, mereka kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari pengikutnya, sehingga kepemimpinan mereka hanya bersifat formal tanpa memiliki pengaruh yang kuat.
Sebagian pemimpin terlalu mengandalkan kekuatan paksaan, ancaman, atau sistem penghargaan dan hukuman untuk mengendalikan bawahannya. Namun, pendekatan ini hanya menciptakan kepatuhan sementara, bukan kepatuhan yang berbasis kepercayaan dan keteladanan. Di sisi lain, pemimpin yang membangun kekuatan referensi melalui karakter, integritas, dan empati akan tetap dihormati dan diikuti, bahkan setelah mereka tidak lagi menjabat secara formal.
Kepemimpinan yang efektif tidak hanya bergantung pada legalitas atau insentif, tetapi lebih pada kemampuan pemimpin untuk membangun kekuatan referensi melalui keteladanan. Puasa Ramadan memberikan pelajaran berharga dalam membentuk kepemimpinan yang kuat, jujur, disiplin, dan peduli terhadap orang lain.
Di tengah tantangan kepemimpinan saat ini, pemimpin yang mampu membangun kekuatan referensi akan lebih efektif dalam menggerakkan organisasi dan masyarakat. Mereka tidak hanya diikuti karena jabatan, tetapi juga karena karakter dan nilai-nilai yang mereka bawa. Dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran, konsistensi, empati, dan ketahanan diri yang diajarkan oleh puasa, seorang pemimpin dapat menjadi sosok yang benar-benar berpengaruh dan membawa perubahan yang berarti bagi lingkungan sekitarnya. (*)