Oleh : Yuspardi, SAg (Ketua Baznas Kota Padang)
Halalbihalal adalah tradisi masyarakat Indonesia yang biasanya dilakukan sesudah Lebaran atau setelah Idul Fitri. Tradisi ini biasanya diisi dengan bersilaturahmi hingga bermaaf-maafan.
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal artinya adalah bermaaf-maafan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
Halalbihalal juga bisa diartikan sebagai salah satu bentuk dari silaturahmi dari sekelompok orang.
Dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia atau MUI, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali berpendapat, tradisi halalbihalal adalah umum atau jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri. Dalam pelaksanaannya, orang yang mengikuti halalbihalal akan saling bermaaf-maafan dengan saling berjabat tangan sembari mengucapkan permohonan maaf kepada sesama.
Halal Bihalal dalam Islam
Menurut KH Abdul Muiz Ali, Nabi Muhammad SAW pernah melakukan halalbihalal atau saling ‘menghalalkan’ serta melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah semasa di Makkah. Peristiwa luar biasa dalam sejarah Islam ini disebut dengan Fathu Makkah.
Rasulullah SAW bersabda, Artinya: “Tidaklah dua orang muslim ketika saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Pada peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah SAW menyampaikan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy.”
Rasulullah SAW kemudian memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah. Salah satu ayat Al Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah SAW pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surah Yusuf ayat 92, Artinya: Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.”
Peristiwa Fathu Makkah ini terjadi pada tahun 8 Hijriyah. Peristiwa ini bahkan disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.
Oleh karena peristiwa tersebut, KH Abdul Muiz Ali berpendapat, esensi halal bihalal dapat tercapai jika kita semuanya menempatkan diri dalam halalbihalal sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus momen yang merekatkan sosial, baik antar individu maupun kelompok dan golongan.
Dengan demikian, pelaksanaan halalbihalal tidak saja bernilai ibadah karena di dalamnya terdapat muatan silaturrahim, melainkan juga sebagai media yang dapat menyatukan dan menguatkan.
Untuk itu, KH Abdul Muiz Ali juga membenarkan halalbihalal dari sisi hukum Islam. Menurutnya, halalbihalal yang semula mubah (boleh) bisa menjadi sunnah jika diniatkan untuk melaksanakan perintah silaturahmi dan bahkan bisa menjadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf atas kesalahan dirinya kepada orang lain.
Asal Usul Halal Bihalal
Mengutip laman resmi Kanwil Kemenag Sumatera Selatanl bahwa tradisi halalbihalal ini tidak dapat ditemukan di Makkah maupun Madinah. Hal ini menjelaskan bahwa halalbihalal adalah produk asli dari Indonesia atau hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.
Dijelaskan bahwa, konon, tradisi halal bihalal pertama kali diinisiasi oleh Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa, lahir 08 April 1725. Pada masa itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, sekaligus biaya, setelah usai melaksanakan shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Dalam budaya Jawa, seseorang yang lebih muda kemudian sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem berarti sebagai lambang penghormatan sekaligus permohonan maaf.
Sumber lainnya menyebutkan, tradisi halalbihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan saat pihak Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia berada di titik genting dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Ramadhan 1946 dengan maksud agar bersedia di hari Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus dapat menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi.
Selain untuk membahas revolusi, tujuan dari pertemuan ini adalah agar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam satu kesatuan dan persatuan NKRI. Kemudian, Presiden Soekarno setuju dengan usulan tersebut, lalu dibuatlah kegiatan halalbihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional.
Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal yang kemudian tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu ajang untuk memperkuat tali persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja, umat beragama, dan masyarakat secara umum. (*)