Oleh Inosensius Enryco Mokos
Peneliti Komunikasi Pendidikan, Politik, Publik dan Budaya
Di tengah gempuran budaya global yang kian homogen, langgam-lagu berbahasa daerah justru bangkit menemukan denyut nafas baru. Musik Minang, dengan syair-syair penuh filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, kini tak lagi terkurung dalam nostalgia. Melalui sentuhan pop culture yang segar dan distribusi digital yang masif, lagu-lagu seperti “Bapisah Bukannyo Bacarai” atau “Denai Cinto” menjelma menjadi hits viral, melintasi batas generasi dan geografi. Kanal youtube seperti Minang Timur Production menjadi saksi: ketika gitar elektrik berdenting bersahutan dengan pantun Minang, atau trap beat mengiringi dendang saluang, budaya tradisional tak hanya lestari—ia menari dalam ritme zaman.
Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan gerakan glokalisasi yang cerdas; membingkai kearifan lokal dalam kemasan modern agar tetap relevan, sekaligus membuka pintu bagi dunia untuk mengintip keelokan Ranah Minang. Inilah babak baru di mana warisan leluhur tak lagi berbisik, tetapi bersuara lantang di panggung industri musik nasional, didorong oleh kekuatan media sosial dan kolaborasi kreatif yang visioner.
Pertanyaan mendasar muncul, strategi macam apa yang mesti terus digaungkan untuk memperkenalkan budaya lebih luas lagi, bukan hanya di lokal, tetapi nasional dan internasional? Bagaimana respon pemerintah daerah melihat fenomena ini? Penting untuk membahas beberapa pertanyaan ini untuk menjadi refleksi kritis pembawa perubahan.
Glokalisasi Modern Menjanjikan
Penggabungan bahasa daerah dengan musik modern bukanlah fenomena baru, melainkan hasil dari proses panjang akulturasi budaya, perkembangan teknologi, dan upaya pelestarian identitas lokal di tengah arus globalisasi.
Kemunculan internet dan platform digital (YouTube, Spotify, TikTok) membuka pintu bagi kolaborasi tanpa batas. Bahasa daerah tidak lagi dianggap “kampungan”, melainkan menjadi simbol kebanggaan lokal yang bisa bersaing secara global.
Lagu-lagu Batak (seperti Anju Ahu karya Judika) atau Jawa (Didik Nini Thowok) diaransemen ulang dengan genre EDM, hip-hop, atau R&B. Di Minang, kanal seperti Minang Timur Production mentransformasi lagu tradisional seperti Bapisah Bukannyo Bacarai dengan sentuhan pop elektrik, menarik pendengar lintas generasi.
Lantas pertanyan besar muncul, mengapa penggabungan bahasa daerah dan musik modern penting? Jawabannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pelestarian budaya melalui relevansi generasi muda. Bahasa daerah rentan punah jika tidak diadaptasi ke medium yang digemari kaum milenial dan Gen-Z. Dengan memadukan lirik Minang dan instrumen modern, lagu-lagu seperti “Bapisah Bukannyo Bacarai” (dipopulerkan oleh Feby Putri) menjadi lebih mudah diakses, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, memperluas pasar. Musik modern dengan lirik daerah tidak hanya dinikmati komunitas lokal, tetapi juga menarik pendengar nasional bahkan internasional yang penasaran dengan keunikan budaya Minang. Ketiga, membangun identitas budaya di kancah global. Seperti K-Pop yang mempromosikan budaya Korea, musik Minang modern bisa menjadi “jendela” bagi dunia untuk mengenal Sumatera Barat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial merupakan amplifier budaya yang tak terbantahkan. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menghilangkan batas geografis dan demografis. Konten kreator—mulai dari musisi, food vlogger, hingga storyteller mistis—memiliki kekuatan untuk menjadikan budaya sebagai tren viral. Contoh sukses datang dari China, yang menggandeng konten kreator AS seperti IShowSpeed. Melalui konten gamifikasi (permainan interaktif) dan vlog petualangan, Speed memperkenalkan budaya China dengan cara menghibur, ditonton jutaan orang global. Hasilnya, citra China sebagai destinasi modern namun kaya tradisi menguat, mendongkrak pariwisata dan ekonomi kreatif.
Padang memiliki potensi serupa. Konten kreator lokal seperti Minang Timur Production (musik), Siskaeee (food vlogger kuliner Minang), atau channel mistis seperti Gua Angker bisa menjadi duta budaya. Sayangnya, kolaborasi antara pemerintah dan kreator masih minim. Padahal, sinergi ini bisa menciptakan momentum seperti China, di mana konten kreatif menjadi alat diplomasi budaya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Di tengah gelombang digital yang mengubah cara masyarakat mengkonsumsi budaya, Minangkabau menghadapi peluang emas: menjadikan warisan adat dan seninya sebagai magnet global melalui kolaborasi antara kebijakan pemerintah dan kreativitas anak muda. Meski lagu-lagu Minang modern seperti karya Minang Timur Production telah viral di YouTube, atau kuliner rendang menjadi ikon gastronomi nasional, potensi ini belum sepenuhnya tergarap maksimal.
Tantangannya terletak pada kesenjangan antara inisiatif mandiri konten kreator dengan dukungan sistemik dari pemangku kebijakan. Sementara China membuktikan bahwa kolaborasi terstruktur dengan kreator—seperti gamifikasi budaya melalui kreator IShowSpeed—bisa mendongkrak citra negara, Sumatera Barat justru punya aset lebih kaya: ratusan musisi, food vlogger, dan storyteller lokal yang siap menjadi duta budaya.
Lantas, strategi apa yang harus dijalankan pemerintah daerah untuk merangkul mereka? Bagaimana menciptakan ekosistem yang memadukan kebijakan afirmatif, pendanaan kreatif, dan distribusi konten berkelas global? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memajukan dan mempromosikan budaya Minang.
Pertama, pendanaan dan pelatihan kreatif. Pemerintah daerah bisa menyediakan hibah atau kompetisi bagi kreator untuk memproduksi konten berkualitas. Pelatihan teknis (editing, SEO) juga diperlukan agar konten mampu bersaing secara global.
Kedua, kemitraan dengan platform digital. Kolaborasi dengan YouTube, TikTok, atau Spotify untuk membuat kampanye khusus, seperti #ExploreMinang, yang mempromosikan lagu, kuliner, dan destinasi wisata.
Ketiga, festival budaya hybrid. Mengadakan event tahunan yang menggabungkan pertunjukan musik modern Minang, festival kuliner, dan pameran seni, disiarkan secara daring untuk menjangkau audiens internasional.
Keempat, kurasi konten budaya. Membuat platform digital yang mengumpulkan konten kreator Minang dalam satu kanal resmi, dilengkapi terjemahan bahasa asing untuk memudahkan promosi global.
Glokalisasi musik Minang modern bukan sekadar bukti bahwa budaya daerah mampu bertahan di era digital, melainkan juga cerminan semangat “basandi ka sarak, sarak basandi ka Kitabullah”—berpegang pada tradisi, namun adaptif pada perubahan.
Dengan dukungan pemerintah yang visioner dan kolaborasi kreatif anak muda, dendang saluang dan syair Minang tak lagi terkurung di ranah lokal, tetapi menjelma menjadi gelombang budaya yang mendunia. Seperti China yang sukses memikat mata global lewat strategi gamifikasi dan konten kreator, Padang pun berpeluang menulis kisah serupa: menjadikan rendang, lagu dendang, dan pesona alamnya sebagai magnet yang tak hanya memikat hati, tetapi juga mengukuhkan identitas Minang di panggung internasional.
Pada akhirnya, melestarikan budaya bukanlah tentang membangun museum, melainkan menciptakan jembatan—di mana nilai-nilai lama bertemu inovasi baru, lalu bersama-sama melangkah ke masa depan. Semoga (*)