Oleh : H. Edy Oktafiandi (Kakankemenag Kota Padang)
MENURUT Imam Musthafa Al-Hariri, “Al-adabutta’liim” (2020), kurikulum yang berpusat pada peserta didik memberikan ruang bagi peserta didik untuk terlibat secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan pembelajaran. Hal tersebut hanya dapat terjadi jika kepercayaan diri pembelajar disemangati oleh perasaan kontrol dan kemampuan untuk mengelola kemajuannya dalam memperoleh kualifikasi.
Guru abad ke-21 harus menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendukung empat Pilar Pembelajaran (learning to know, learning to do, learning to be, learning to life together), tetapi juga membuat peserta didik diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan terkait dan punya obsesi sendiri.
Karena itu, lanjut Musthofa, guru harus dapat membimbing peserta didik menuju kematangan fisik dan mental yang utuh dan harus membantu mengembangkan pemikiran kritis. Peserta didik juga harus didorong untuk mempraktikkan kebenaran dan memiliki harga diri dan rasa hormat terhadap orang lain. Hal ini dapat terjadi jika pembelajar diberi kesempatan untuk menerima dirinya sendiri.
Jika peserta didik gagal melakukannya, mereka cenderung kurang percaya diri, yang akan menyebabkan kurangnya kemandirian.
Argumen tersebut menunjukkan bahwa peserta didik itu perlu diberikan kemerdekaan (kebebasan) dalam mengaktualisasikan dirinya, karena mereka memang memiliki hak merdeka belajar, sekaligus hak belajar secara merdeka, sehingga mereka diposisikan sebagai subyek merdeka yang dipercaya mampu menjadi sumber belajar. Konsep merdeka belajar pada dasarnya mendorong peserta didik bersikap kritis, terlibat aktif dalam mengalami proses pembelajaran dan belajar memproduksi ilmu pengetahuan dan berkarya untuk maju.
Mengapa konsep merdeka belajar penting dan relevan untuk dikembangkan dalam institusi pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi? Bagaimana perspektif Islam dalam memaknai dan mengntekstualisasikan konsep ini, terutama dalam rangka mewujudkan peserta didik yang mampu berpikir kritis, berkarya kreatif, berkomunikasi efektif, berkolaborasi positif dan strategis, dan berkontribusi positif dalam membangun masa depan yang prospektif dan mencerahkan? Apakah konsep “merdeka belajar” sejalan dengan adagium Saneca (filsuf), “Non Scolae Vita Discimus” (belajar untuk hidup)?
Penulis mengajak kita semua melihat dan menelaah Merdeka Belajar dan Visi Kenabian
Semua Nabi dan utusan Allah SWT ditugasi untuk mengajarkan akidah tauhid.
Esensi ajaran tauhid adalah menuhankan Allah yang Maha Esa; tidak menyembah selain-Nya. Sedangkan esensi bertauhid sejatinya adalah pemerdekaan diri dari segala bentuk tuhan palsu, berhala-berhala produk budaya atau ciptaan manusia. Jadi, manusia yang hanya menuhankan Allah yang Maha Es aitu adalah manusia merdeka. Orang yang masih percaya kepada selain Allah, percaya kepada sesembahan dan ketergantungan kepada berhala pada dasarnya tidak merdeka, dan diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri.
Kisah Nabi Ibrahim AS dalam bereksperimen mencari dan menemukan Tuhan yang Maha Esa dalam surat al-An’am menarik diambil sebagai pelajaran. Mula-mula Ibrahim mengkritisi ayahnya, Azar (ada yang berpendapat bahwa Azar bukan ayah kandung, tetapi ayah sosiologis, tokoh masyarakat): “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” [QS. Al-An’am/6:74].
Dalam konteks ini, Allah memperlihatkan Ibrahim AS tanda-tanda kebesaran dan keagungan- Nya di langit dan di bumi. Ibrahim kemudian melakukan dialog kosmologis-teologis. “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata: Inilah Tuhanku.” Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam
Saya tidak suka kepada yang tenggelam” [QS al- An’am/6:76]. Dialog tersebut menumbuhkan kesadaran teologis pada diri Ibrahim bahwa Tuhan tidak semestinya “muncul lalu menghilang”.
Tidak puas dengan tuhan berupa bintang, Ibrahim melanjutkan dialog kosmologisnya, dengan mengamati dan mencermati bulan. “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat.” [QS. al-An’am/6:77]. Hasil observasi Ibrahim terhadap bulan membawanya kepada kesimpulan sementara bahwa fenomena bulan sama saja dengan bintang: muncul dan tenggelam. Bulan tidak layak dituhankan. Artinya, ada Tuhan sejati yang menciptakan dan mengatur peredaran bulan. Dalam hal ini, Ibrahim mulai merasakan pentingnya “pertolongan dan petunjuk” dari Tuhan sejati agar tidak menjadi orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
Ibrahim melanjutkan observasinya dengan asumsi dasar bahwa Tuhan itu bukan fenomena alam yang muncul dan sirna dari pandangan mata. Pada keesokan harinya, “Ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Namun, tatkata matahari mulai terbenam, dia berkata: “Hai kaumku , sesungguhnya aku berlepas diri (merdeka) dari apa yang kamu persekutukan.” [QS al-An’am/6:78] Pencarian dan pembuktian bahwa Allah itu Maha Esa, tiada tuhan selain Dia (tauhid hakiki) mengandung makna liberasi (pembebasan, pemerdekaan). Karena itu, siapapun yang masih terikat dan tergantung pada tuhan selain Allah itu pasti tidak merdeka, atau musyrik.
Oleh karena itu, atas dasar obervasi fenomena alam, pembuktian ketuhanan ciptaan tuhan yang muncul dan tenggelam, dan penalaran logis (dengan logika induktif), Ibrahim menegaskan bahwa “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [QS al-An’am/6:79]. Inilah pandangan, sikap, dan keyakinan teologis yang rasional bahwa bertauhid itu sejatinya merdeka dari segala sesembahan, berhala, atau tuhan palsu yang membuat manusia tersandera dan terkungkung oleh sifat-sifat makhluk.
Jadi, dalam perspektif Islam, merdeka belajar itu harus berangkat dari keyakinan teologis (tauhid) yang memerdekakan diri pembelajar. Keyakinan teologis ini berimplikasi kepada sikap kritis bahwa sumber kebenaran ilmu, baik melalui proses pembelajaran maupun pengalaman empirik, berasal dari Allah SWT.
Berdasarkan penegasan Ibrahim tersebut, merdeka belajar itu sejatinya merupakan fitrah, kecenderungan alami dan kecintaan terhadap kebijaksanaan (filsafat) yang ditanamkan oleh Allah pada diri manusia. Dengan demikian, merdeka belajar bukan sekadar bebas tanpa batas dalam belajar, mempelajari, dan mencari ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, merdeka belajar dalam Islam merupakan spirit untuk memenuhi rasa ingin tahu (kuriositas) dan rasa ingin ma’rifatullah (mengenal Allah), di samping rasa ingin menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan dan keterampilan secara tidak “dibatasi” oleh sekat-sekat kejurusanan dan keprodian. Spirit merdeka belajar itu sejatinya belajar menguasai kompetensi dan keterampilan secara lebih luas dan multidisiplin ilmu. Dalam al-Qur’an, konsep merdeka belajar ini dapat diejawantahkan dengan memahami filosofi “iqra’” (perintah membaca).
Ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca tanpa dibatasi. Menurut penulis konsep merdeka belajar merupakan hal yang tepat di era digitalisasi dan globalisasi dimana perkembangan ilmu pengetahuan berlari secepat kilat terkadang tidak butuh lagi menoleh kebelakang.
Merdeka belajar adalah konsep ideal untuk generasi milineal mereka diberikan kebebasan dalam bimbingan guru, berkreasi dalam bingkai kebenaran, bebas bukan berarti lepas kendali, mengobservasi berdasarkan data dan fakta, berkembang tetap dalam ambang, dan kritis tapi realistis.(*)