Oleh: Israr Iskandar (Dosen Sejarah FIB Unand)
Belakangan ini usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali bergulir. Nama Soeharto bahkan sudah masuk ke dalam daftar 10 usulan calon pahlawan nasional tahun 2025. Menteri Sosial, Syaifullah Yusuf mengatakan akan mempertimbangkan segala masukan yang muncul. Ia tidak menampik bahwa Soeharto dan juga mantan Presiden Abdurrahman Wahid berpeluang diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun ini, karena telah memenuhi syarat-syarat normatif yang diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 (https://rejogja.republika.co.id).
Dalam restrospeksi, pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah muncul sejak lama. Pada tahun 2010, nama Soeharto pernah dimunculkan sebagai calon pahlawan nasional. Dibandingkan Soekarno, yang baru dicalonkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1986, atau 16 tahun setelah wafatnya sang proklamator, pencalonan Soeharto terbilang cepat. Soeharto wafat pada tahun 2008 atau dua tahun sebelum dicalonkan sebagai pahlawan nasional.
Namun hasilnya, usulan itu belum terkabul. Pencalonan Soeharto waktu itu terganjal keberadaan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Presiden kedua RI itu dinilai tidak memenuhi ketentuan soal integritas moral dan keteladanan serta juga ketentuan berkelakuan baik sebagai salah satu syarat menjadi pahlawan nasional.
Pada tahun 2018, Soeharto kembali dicalonkan sebagai pahlawan nasional. Namun pencalonan mantan orang kuat Orde Baru itu kembali kandas. Lagi-lagi terganjal soal TAP MPR tentang anti-KKN itu.
Tahun 2024 lalu, usulan mempahlawankan Soeharto muncul lagi. Bahkan arahnya lebih menukik. Pada ujung masa jabatannya, MPR periode 2019-2024 yang dipimpin Bambang Susatyo dari Partai Golkar tak hanya dengan lugas mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, tetapi juga menghapus nama Soeharto dari TAP MPR (pasal 4) Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sepertinya upaya-upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional makin solid dan sistematis.
Sebagaimana sebelumnya, pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional menuai polemik. Sejumlah aktivis HAM dan antikorupsi, konsisten menolak pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional. Soeharto tak hanya dianggap bertanggung jawab atas banyak sekali pelanggaran HAM di masa Orde Baru, tetapi juga kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa sebelum reformasi.
Semangat Reformasi
Memang pada awal reformasi, wacana untuk mengenang “jasa” Soeharto tidak begitu populer. Keadaan itu sejalan dengan suasana perubahan politik setelah lengsernya Soeharto. Pada tahun-tahun pasca-1998, banyak pihak menghindar dan “menjauh” dari (mantan) penguasa Orde Baru itu. Mereka yang tadinya dan aslinya menjadi pendukung dan penopang utama pemerintahan Orde Baru bahkan “bersalin rupa” menjadi bagian dari golongan yang menggulirkan arus perubahan.
Namun seiring berjalannya waktu, wacana memulihkan reputasi Soeharto mulai menguak ke permukaan dan bahkan dioperasionalkan. Masyarakat Indonesia seolah sudah melupakan “kesalahan” Soeharto. Tidak heran di sejumlah tempat, ada anggota masyarakat yang kemudian berkomentar atau mempersepsi bahwa dibandingkan zaman reformasi, zaman Soeharto lebih baik, harga-harga terjangkau, suasana aman, banyak proyek, dan sebagainya.
Sejumlah kekuatan politik pun mulai rutin melakukan semacam “cek ombak” untuk mengetahui reaksi publik terhadap upaya memulihkan “nama baik” Soeharto dan bahkan mengusulkannya menjadi pahlawan nasional. Partai Golkar, misalnya, sudah cukup lama juga mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, terutama usai Soeharto meninggal awal 2008 silam, tetapi usulan atau tepatnya wacana itu kemudian kandas begitu saja, karena tidak mendapat dukungan mayoritas kekuatan politik dan kuatnya daya tolak di tingkat masyarakat.
Jika dibandingkan Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid, upaya-upaya “pemulihan” pamor Soeharto terasa agak “rumit”, bahkan sampai tahun-tahun belakangan ini. Hal itu antara lain tercermin dari momen peringatan Seabad Soeharto pada 2021 lalu (Soeharto lahir tahun 1921) yang terkesan sederhana sekali untuk ukuran seorang tokoh yang pernah berkuasa selama lebih tiga dekade. Tidak semeriah Seabad Soekarno pada tahun 2001, seratus tahun Soeharto hanya diisi dengan acara doa dan tahlilan yang digelar pihak keluarga di Masjid Agung At-Tin, Jakarta.
Dalam perspektif tertentu, meriahnya momentum Seratus Tahun Bung Karno dulu bisa “dipahami”, karena berlangsung pada saat euforia reformasi pasca-jatuhnya Soeharto, tokoh yang “menggantikan” Soekarno pertengahan 1960-an pasca-tragedi nasional yang diingat dalam sejarah Indonesia sebagai kudeta PKI—yang kemudian ditumpas militer pimpinan Soeharto-Nasution. Tidak heran juga, naiknya pamor Soekarnoisme politik kala itu—yang ditandai kemenangan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 1999—bahkan (dalam batas tertentu) dalam konteks “antagonisme”-nya dengan rezim Orde Baru.
Selain itu, kondisi pada momen Seabad Soeharto juga sangat dipengaruhi situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial menjadi berkurang dan terbatas. Tidak hanya dari pihak pemerintah dan partai-partai, tetapi kalangan masyarakat, termasuk masyarakat akademik dan media massa.
Namun mengaitkannya dengan politik atau kekuasaan pada masa kekinian jelas alasan yang paling “rasional”. Situasi politik dianggap masih kurang “bersahabat” dengan narasi-narasi Orde Baru umumnya dan Soeharto khususnya. Apalagi masa Orde Baru dianggap belum terlalu lama berlalu atau masih terbilang sejarah kontemporer, sehingga sebagian besar elite politik saat ini, termasuk yang senior, masih enggan mengaitkan dirinya dengan Orde Baru.
Partai Golkar yang berada dalam pemerintahan (juga partai-partai pecahannya, seperti Gerindra, Demokrat, dan NasDem) pada waktunya itu terlihat masih mengambil “jarak” dengan narasi-narasi politik Partai Beringin yang sangat berkuasa dulu. Gerindra dan ketuanya, Prabowo Subianto sejak awal mendirikan partainya sebelum Pemilu 2009 malahan lebih banyak “menjual” atribut Bung Karno dibandingkan Pak Harto atau Orde baru.
Publik Indonesia, termasuk generasi baru, tentu akan melihat seperti apa corak respons (pemerintahan) Prabowo saat ini terhadap peran kesejarahan mantan mertuanya itu. Apapun, bentuk dan corak apresiasi masyarakat dan elite politik terhadap peristiwa-peristiwa sejarah penting, rezim-rezim terdahulu, dan peran tokoh-tokoh besar pada masa lalu dengan segala kontroversinya dapat menunjukkan tingkat perkembangan peradaban politik bangsa. (*)