Setelah diumumkannya penundaan penerapan tarif impor pada sebagian besar negara selama 90 hari dimulai pada 9 April 2025, muncul efek positif terhadap stabilitas pasar global. Hal ini terlihat dari lonjakan Indeks Dow Jones hampir 3.000 poin atau 7,87 persen, S&P 500 9,5 persen, dan Nasdaq 12,2 persen. Lompatan tinggi juga tercatat pada Bursa saham Eropa, bahkan menjadi lonjakan terbesar sejak 2022. Indeks pan-Eropa STOXX 600 menguat 3,7 persen atau 17,39 poin menjadi 487,28.
Secara regional pada berbagai negara Eropa indeks saham juga menghijau. Indeks DAX Jerman menguat 4,53 persen atau 891,85 poin menjadi 20.562,73. FTSE 100 Inggris meningkat 3,04 persen atau 233,77 poin menjadi 7.913,25. CAC 40 Prancis mengokoh 3,83 persen atau 263,00 poin menjadi 7.126,02.
Di Indonesia, pasar keuangan sepakat menghijau pada periode penutupan perdagangan. Artinya bahwa IHSG kembali menguat. Pada 14 April 2025 IHSG melonjak hampir 2 persen atau 106,29 poin ke level 6.368,52. Dikutip dari Refinitiv, sebagian besar sektor berada dalam zona hijau. Sektor utilitas memimpin dengan kenaikan 8,98 persen dan diikuti oleh sektor bahan baku yang meningkat 5,44 persen. Sementara sektor energi menjadi satu-satunya yang melemah dan mencatatkan penurunan 4,18 persen.
Setali tiga uang dengan IHSG, tarif Trump juga melemahkan Rupiah, bahkan menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Pada 8 April 2025, hari pertama pasar dibuka kembali, Rupiah sempat tertekan hingga Rp16.849 per Dolar AS atau melemah 1,71 persen dibanding hari terakhir sebelum libur Lebaran. Bahkan kembali terkoreksi pada hari berikutnya menjadi Rp16.943 per Dolar AS. Namun setelah pengumuman penundaan pemberlakuan tarif Trump, Rupiah cerah kembali di level Rp16.779 pada 10 April 2025.
Penguatan Rupiah tidak berlangsung lama, berdasarkan Refinitiv, Rupiah kembali anjlok di angka Rp16.810 per Dolar AS atau terkoreksi 0,23 persen pada 15 April 2025. Pelemahan Rupiah dipicu oleh Dolar AS yang berhasil mengalami rebound. Indeks Dolar AS (DXY) kembali naik ke level 100. Rupiah tidak sendiri, nilai tukar yang juga mengalami pelemahan adalah Ringgit Malaysia yang minus 0,06 persen. Namun sebagian besar nilai tukar negara kawasan mengalami apresiasi, seperti Baht Thailand naik 0,43 persen, Peso Filipina yang menguat 0,38 persen, Yen Jepang dan Dolar Singapura menguat 0,20 persen, serta Dolar Hong Kong naik 0,009 persen.
Berbagai luka ekonomi yang diakibatkan oleh berlakunya tarif “timbal balik” AS, Pemerintah Indonesia dapat segera mengambil inisiatif untuk menggeliatkan kembali perekonomian nasional. Berikut berbagai hal yang dapat dijadikan opsi guna menumbuhkan sentimen positif dunia usaha. Pertama, Pemerintah bersama pelaku usaha bersinergi meningkatkan nilai tambah produk ekspor. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas dasar atau bahan mentah (raw material), tetapi juga mengekspor produk jadi dan produk hasil olahan atau barang setengah jadi. Sehingga nilai jualnya tinggi dan membuka banyak lapangan pekerjaan dalam negeri.