Oleh : Firsta (Pemerhati Sosial, Aktivis Pramuka)
Bisa jadi ada diantara Anda yang merasa bekerja sudah sangat maksimal tapi hasilnya tetap kurang.
Bisa juga ada diantara Anda yang sudah sangat cukup bahkan punya tabungan setelah dikumpulkan bertahun-tahun, tapi tertipu investasi bodong. Anehnya berulang kali seolah tidak boleh punya uang lebih.
Atau ada diantara Anda yang hidupnya seperti naik turun. Kerja keras lalu banyak uang, tapi dengan mudahnya turun ke kondisi kekurangan.
Kerja keras lagi banyak uang lagi, tapi segera mudah habis hingga tak bersisa, meski ada lagi setelah kerja keras. Rasanya ada saja kebutuhan.
Mungkin sebagian Anda merasa itu adalah ujian atau takdir yang harus diterima. Tapi kalau mau mempelajari lebih lanjut, kondisi diatas didasari pada trauma dengan uang.
Tidak nyaman dengan uang.
Indikasinya adalah uang sulit didapat meski sudah kerja maksimal atau uang mudah habis baik untuk keperluan sendiri maupun oleh orang lain.
Sekarang mari kita bedah kenapa ada yang mengalami trauma uang?
Pikiran kita mencari kenyamanan menghindari ketidaknyamanan. Bila panas matahari dianggap ketidaknyamanan, maka pikiran mencari cara agar bisa berteduh: menghindari terik matahari.
Bagaimana bila terik matahari adalah analogi dari uang?
Sebanyak apa pun uang diperoleh, pikiran membuka jalan agar uang itu keluar dengan cepat. Diantaranya mudah transfer ke orang lain sehingga diri sendiri kehilangan uang.
Pertanyaannya adalah kapan uang dikodekan sebagai sumber kesakitan?
Berdasarkan pengalaman dalam sesi terapi klien, berikut ini contoh orang yang menganggap uang sebagai sumber kesakitan.
*_Pertama_* melihat ayah menikah lagi setelah usahanya sukses. Seorang anak gadis menyaksikan penderitaan psikologis ibunya yang memilih bercerai dari ayahnya yang menikah lagi.
Ibunya selalu berkata, lelaki kalau punya duit pasti main perempuan. Tak sadar uang dianggap sebagai sumber “ketidakwarasan” lelaki dan menghancurkan keluarganya.
*_Kedua_* pengalaman dirampok waktu kecil, dimana seorang perampok menarik anting ibunya sampai telinga robek dan berdarah.
Meski diceritakan, tapi membekas bahwa kekayaan mengundang kejahatan. Termasuk melihat ayahnya kedatangan tamu oknum polisi dan tentara yang meminta uang dengan alasan memudahkan penangkapan perampok.
Menjadi orang kaya itu gak enak, jadi sasaran perampokan dan pemerasan.
*_Ketiga_* mendengar ayahnya bercerita tentang pejabat korup yang ditonton di televisi. Ayah berkata, orang gak bisa kaya kalau gak korupsi.
Entah serius atau tidak, tapi membekas di pikiran anak bahwa orang kaya selalu mendapatkan kekayaan dengan korupsi atau kecurangan lainnya.
Dia tak mau korupsi, tak mau curang.
*_Keempat_*, mengalami sendiri bagaimana ayahnya bertengkar dengan saudara lain memperebutkan warisan.
Kakak tertua menguasai rumah mendiang kakek nenek dan tak mau pindah, tak mau dijual untuk dibagi. Ayahnya menuntut dengan keras membuat kakak adik bertengkar.
Banyak warisan membuat keluarga itu bertengkar.
*_Kelima,_* melihat orang tuanya pekerja keras dan ia merasa itulah hidup yang sebenarnya. Penuh kerja keras. Tak sadar ia meyakini hidup bergelimang harta adalah jalan hidup yang salah.
Hidup itu penuh perjuangan, penuh kesulitan. Hidup bergelimang kekayaan dan serba mudah dianggap mengkhianati hidup.
Sepanjang trauma diatas tidak disembuhkan, selamanya hidup berjarak dengan uang. Tak sadar pikiran memilih hidup kekurangan uang.
Hanya jika mau menyembuhkan trauma, kenali akarnya lalu terapi sampai tuntas. (*)