Oleh : Mafaza, S.Psi., Ms.c
Dosen Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
HARIANHALUAN.ID – Periode usia dini, atau sekitar 3-8 tahun, merupakan masa yang menjadi dasar perkembangan dan pembelajaran bagi anak. Keterampilan dan pengalaman yang diperoleh di masa awal kehidupan ini memiliki dampak yang signifikan bagi ke hidupan mereka di masa yang akan datang. Salah satu keterampilan yang sangat penting bagi anak, namun sering luput dari perhatian adalah keterampilan emosional. Kurangnya perhatian dalam mengembangkan keterampilan emosional anak usia dini sangatlah disayangkan, mengingat banyak sekali hasil penelitian yang menunjukkan dampak langsungnya bagi kesejetahreaan, kesuksesan, dan kepuasan hidup anak dimasa depan. Keterampilan ini berguna untuk mendukung keberfungsian psikososial anak, yaitu tidak hanya bagaimana anak dapat mengenali emosinya melainkan dapat mengarahkan mereka dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan konteks dan situasi. Anak membutuhkan keterampilan emosional, seperti mengenali, mengekspresikan, mengelola, dan menyelesaikan permasalahan atau konflik emosional di dalam konteks sosial.
Kemampuan emosional yang rendah tidak hanya berdampak secara jangka pendek, melainkan dapat mempengaruhi kehidupan mereka di jangka waktu yang lebih panjang. Menurut penelitian sebelumnya, kemampuan emosional dapat menunjang kesuksesan anak saat memasuki dan menjalani pendidikan di sekolah. Mereka akan lebih mudah beradaptasi, mampu mengelola stres, dapat fokus, dan bisa mengambil pelajaran dari kesalahan yang dilakukan. Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan hubungan sosial yang positif, serta dapat menurunkan resiko permasalahan perilaku. Sebaliknya, jika anak tidak dibekali kemampuan ini, maka mereka rentan mengalami permasalahan dalam menyesuaikan diri, performa yang buruk di sekolah, tingginya permasalahan perilaku, seperti agresi.
Akan tetapi, proses mengembangkan kemampuan emosional anak usia dini tidaklah mudah, melainkan melibatkan berbagai pihak. Anak tidak bisa dibiarkan seorang diri dan dituntut untuk langsung bisa menguasai keterampilan tersebut. Masih terbatasnya pengetahuan anak terkait emosi, khususnya mengenai apa saja strategi dan upaya yang harus mereka lakukan, mengindikasikan pentingnya peran orang-orang yang ada disekitarnya untuk membantu mereka mengenali dan mengelola emosi. Anak membutuhkan figur orang dewasa yang ada disekitarnya untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan ini atau orang-orang yang terlibat dinamai sebagai “agen sosialisasi emosi”.
Orang tua memang merupakan agen sosialisasi emosi utama bagi anak. Namun, tidak dapat dipungkiri tugas sebagai agen sosialisasi emosi saat ini juga dipegang oleh guru di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Saat ini, banyak anak kelompok usia dini yang terlibat di lembaga PAUD. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statitistik (BPS) Tahun 2024, tercatat sebesar 36.03% anak di Indonesia yang mengikuti PAUD. Lebih lanjut, untuk anak-anak Provinsi Sumatera Barat adalah 28.12%. Meskipun belum meratanya kesempatan dan keikutsertaan anak di PAUD, hal ini menunjukkan bahwa PAUD adalah tempat selain lingkungan keluarga yang menjadi wadah pembelajaran bagi anak terkait kemampuan emosional. Guru PAUD perlu menyadari perannya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan mengajarkan anak di ruang lingkup kelas. Mereka perlu menyusun strategi yang tepat untuk membantu anak-anak dalam mengembangkan kemampuan tersebut.
Proses yang dapat dilakukan guru dalam sosialisasi emosi ini mencakup beberapa cara, yang pertama: yaitu modeling emotion (memberikan contoh), anak akan mengamati ekspresi emosi guru secara keseluruhan dan bagaimana guru memberikan respon emosional terhadap berbagai kejadian. Mereka akan menjadikannya sebagai pedoman dan dapat menirukannya dalam keseharian mereka. Kedua adalah melalui respon guru terhadap pengalaman dan ekspresi emosi yang ditampilkan oleh anak, apakah guru mendukung dengan menerima dan menghibur, atau sebaliknya dalam bentuk tidak mendukung seperti mengabaikan, meremehkan, dan bahkan menghukum anak saat menunjukkan emosi-emosi terntentu. Reaksi guru ini menyampaikan pesan penting pada anak terkait bagaimana kedepannya mereka harus bereaksi secara emosional. Ketiga, guru juga dapat memberikan instruksi langsung terkait pengalaman emosional. Hal ini meliputi pemberian instruksi yang terarah dan terencana menggunakan berbagai media pembelajaran untuk membantu anak-anak memahami penyebab emosi, menambah pengetahuan terkait emosi, memberikan label pada emosi, serta langkah-langkah yang bisa dilakukan anak dalam situasi tertentu untuk mengendalikan emosi mereka. Kegiatan-kegiatan instuksional ini dapat dilakukan secara berkelanjutan dalam kelas selama pembelajaran.
Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi dilapangan saat ini adalah masih banyaknya lembaga PAUD yang hanya fokus pada pengembangan akademik dan belum meperhatikan kemampuan emosional sebagai hal yang perlu untuk diprioritaskan. Masih banyak program-program atau kegiatan yang tidak melibatkan aspek pembelajaran emosional. Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan pelatihan yang didapatkan para guru untuk menyusun strategi dan cara yang tepat untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Terlebih lagi, kebutuhan akan pelatihan ini sangat mendesak, mengingat banyaknya guru PAUD yang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak sesuai. Sebagaimana, hasil penelitian Mafaza dan Sarry di tahun 2023 yang menunjukkan masih banyak guru PAUD di Padang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak berkaitan dengan pendidikan anak di usia dini. Berbedanya latar belakang pendidikan, semakin mengurangi kesadaran dan pengetahuan terkait pengemangan kemampuan sosial anak.
Hal ini juga dapat dilihat dari hasil penilitian Mafaza dan Sarry pada tahun 2024 di Kota Padang, bahwa keterbatasan guru dalam memahami konsep kompetensi emosional anak berikaitan dengan kurangnya kegiatan yang melibatkan aspek “emosional” di kelas. Padahal, sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, kegiatan ini akan sangat membantu anak. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak hanya bercerita atau berdongeng, melainkan juga melibatkan sisi-sisi emosional dalam cerita tersebut, misalnya dengan membahas bagaimana tokoh dicerita tersebut meregulasi, mengekspresikan, dan memahami emosi. Perlunya aktifitas mendiskusikan dan membahas kata-kata yang bermakna emosi dan keterkaitannya dengan keseharian anak. Guru bisa membahas sebab-akibat dari karakter pada cerita, seperti ”menurutmu apakah dia sedih karena boneka kesayangannya hilang?”, “apa yang bisa dilakukannya untuk mengurangi kesedihan?”.
Lebih lanjut, guru di Padang juga ditemukan lebih dominan menggunakan strategi “dismissing” dalam melakukan sosialisasi emosi di kelas. Strategi ini sering dikatergorikan sebagai strategi yang maladaptive atau tidak mendukung, contohnya seperti mengalihkan, menyangkal, mengabaikan, atau meremehkan emosi anak, terutama emosi negatif (sedih, marah, takut, dll). Hal yang paling sering dilakukan adalah dengan mengalihkan emosi anak, misalnya ketika anak sedih, guru menunjukkan mainan atau hal lain yang menarik, agar anak sesegara mungkin berhenti menangis. Pengalihan ini jika terlalu sering dapat mengurangi kemampuan anak untuk meregulasi emosi mereka. Guru dapat mencoba cara yang lebih tepat, seperti menggunakan strategi “coaching”, yaitu mendorong anak untuk mengenali emosi mereka, memberikan label, memberikan arahan pada anak untuk menggambarkan situasi terkait hal-hal yang memunculkan emosi mereka, serta dapat memberikan saran-saran konkrit untuk mengatasi perasaan negatif yang dirasakan anak. Hal tersebut dapat membantu anak menerima emosi mereka dan belajar bagaimana mengatasinya.
Pentingnya praktik sosialisasi emosi di lembaga PAUD perlu dijadikan perhatian bersama oleh berbagai pihak, khususnya pemerintah. Guru mengetahui peran penting mereka untuk perkembangan anak, namun hal ini perlu didukung dengan pelatihan dan fasilitas yang layak, agar praktik sosialisasi emosi di lembaga PAUD dapat terlaksana dengan baik. Pemberian pendidikan pada anak usia dini yang optimal, dapat mencerminkan dukungan kita demi tercapainya generasi mendatang yang berkualitas dan sejahtera. (*)