Oleh: d’®amlis/fitri adona
Ketika Institut Teknologi Bandung (ITB)—salah satu institusi pendidikan tinggi paling bergengsi di Indonesia—mengumumkan kerja sama dengan PT Kukuh Mandiri Lestari untuk membangun kampus di kawasan reklamasi PIK-2, gelombang pertanyaan langsung muncul. Di tengah polemik agraria, resistensi warga, dan catatan kontroversial terhadap entitas yang terlibat, benarkah ini langkah yang tepat?
1. Membedah Motif Ekspansi Akademik
Dalam dunia pendidikan tinggi global, ekspansi fisik atau pembukaan cabang kampus di luar wilayah utama bukanlah hal baru. Namun, apakah model perluasan seperti ini mesti mengabaikan konteks sosial-lingkungan? Jika pendidikan ingin menjadi solusi, maka proyek ekspansi tidak boleh dibangun di atas luka warga.
2. Proyek yang Penuh Polemik
Proyek reklamasi PIK-2—yang sempat berstatus Proyek Strategis Nasional namun kemudian dicabut—menyimpan banyak tanda tanya. Kasus perampasan lahan, pemidanaan warga, dan penolakan dari elemen masyarakat sipil menempatkan proyek ini bukan semata soal pembangunan, tetapi juga soal keadilan.
Di titik ini, langkah ITB menjalin kerja sama dengan pihak yang diduga terlibat dalam problem agraria seolah menutup mata terhadap dinamika sosial yang sedang berlangsung.
3. Universitas sebagai Penjaga Moral Publik
Pendidikan tinggi memiliki mandat ganda: mencetak SDM unggul dan menjaga nalar publik. Jika kampus terlalu dekat dengan kekuasaan atau modal yang tidak akuntabel, maka ruang kritis akan tergerus.
ITB, sebagai kampus teknik ternama, diharap bukan hanya menciptakan insinyur cerdas, tetapi juga profesional yang peka terhadap keadilan sosial. Artikulasi nilai itulah yang membuat reputasi sebuah kampus tak sekadar berdasar pada peringkat dunia—tetapi pada keberaniannya menegakkan etika publik.
Penutup:
Sebagai masyarakat yang menaruh harapan pada dunia akademik, kita patut mendorong agar kerja sama ITB dengan pihak PIK-2 ditinjau ulang melalui forum terbuka, melibatkan sivitas akademika dan publik. Bukan untuk menolak kemajuan, melainkan memastikan bahwa kemajuan tak dibayar dengan kompromi terhadap prinsip.
Karena sejatinya, kampus bukan sekadar tempat belajar—ia adalah benteng peradaban. (*)