Oleh: Israr Iskandar (Dosen Sejarah FIB Unand)
Polemik mengenai jabatan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka masih hilang timbul. Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini jabatan wakil presiden diperdebatkan secara cukup luas di kalangan masyarakat dan elite politik. Setelah Forum Purnawirawan TNI mengusulkan pemakzulan Gibran ke MPR dan DPR, karena proses pencalonan putra sulung mantan Presiden Joko Widodo itu dianggap tidak lepas dari intervensi relasi keluarga lewat Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman, publik kini menunggu kelanjutan persilangan pendapat tersebut.
Indonesia hingga saat ini sudah memiliki 12 wapres. Mulai dari Mohammad Hatta (1945-1956), Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1982), Umar Wirahadikusumah (1982-1987), Sudharmono (1987-1992), Try Sutrisno (1992-1997), Bacharuddin Jusuf Habibie (1998), Megawati Soekarnoputri (1999-2001), Muhammad Jusuf Kalla (2004-2009), Boediono (2009-2024), Muhammad Jusuf Kalla (2014-2019), KH Ma’ruf Amin (2019-2024), sampai Gibran Rakabuming Raka (2024-sekarang).
Ada masa-masa dalam sejarah politik dan pemerintahan Indonesia, seorang presiden tidak didampingi wapres dengan alasan berbeda-beda. Pascamundurnya Bung Hatta sebagai wapres tahun 1956, antara lain karena berbagai perbedaan pendapat dan sikap politiknya dengan Bung Karno, kursi wapres lowong dalam waktu cukup lama. Soekarno tanpa didampingi seorang wapres sampai akhir masa kepresidenannya. Presiden Soeharto, pada periode pertamanya (1968-1973) dan Presiden BJ Habibie dalam periode jabatannya yang singkat di awal era reformasi (1998-1999) juga tidak ada wapresnya.
Selama ini, ada suatu pandangan umum atau tepatnya stigma dalam masyarakat politik kita tentang posisi wapres yang hanya sebagai “ban serep” alias kurang banyak berperan dalam sistem pemerintahan presidensial kita. Perannya terbatas dan tak terlihat dibandingkan presiden. Posisi wapres baru dianggap krusial ketika presiden berhalangan tetap.
Namun catatan sejarah menunjukkan, pada masa awal Republik Indonesia, Wapres Hatta bukanlah “ban serep”. Wapres Hatta bersama Presiden Soekarno bahu-membahu memimpin negara dan bangsa dalam suasana revolusi melawan tantangan dan ancaman rekolonialisasi Belanda, sehingga kepemimpinan mereka dikenal sebagai Dwitunggal.
Pada masa Demokrasi Parlementer, khususnya sebelum 1956, peran Wapres Hatta, bahkan Presiden Sukarno sendiri, lebih sebagai simbol (negara). Pada masa ini kehidupan politik didominasi partai-partai. Kondisi pemerintahan yang berlaku pada masa itu secara umum tidak stabil. Pada periode hingar-bingar politik inilah Hatta mundur dari kursi wapres dan Presiden Soekarno tidak mencari penggantinya sampai berakhirnya Demokrasi Terpimpin.