Oleh: Herri (Ketua Program Doktor Manajemen FEB Unand)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memegang peranan yang amat strategis dalam struktur ekonomi Indonesia. Ia tidak hanya menjadi pelaku usaha di sektor-sektor vital seperti energi, telekomunikasi, dan transportasi, tetapi juga diposisikan sebagai instrumen negara untuk menghasilkan penerimaan melalui setoran dividen, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pemerataan pembangunan. Dalam realitas ini, BUMN sejatinya dituntut untuk berjalan secara profesional, efisien, dan berorientasi pada kinerja.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: maraknya penunjukan anggota Dewan Komisaris BUMN yang tidak berbasis pada kompetensi dan keahlian. Sejumlah figur publik dari berbagai latar belakang yang tidak memiliki keterkaitan dengan dunia korporasi—mulai dari selebritas, tokoh politik, hingga pejabat aktif—menduduki posisi strategis ini. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah Dewan Komisaris masih menjalankan fungsinya sebagai pengawas strategis yang independen dan kompeten, ataukah telah bergeser menjadi ruang kompromi politik dan kompensasi jabatan?
Secara normatif, Dewan Komisaris memiliki peran vital dalam struktur tata kelola perusahaan. Dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain melalui Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Menteri BUMN, Dewan Komisaris diberikan mandat untuk mengawasi kebijakan dan kinerja Direksi, memberikan nasihat strategis, serta memastikan bahwa perusahaan beroperasi sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG). Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar visi dan misi perusahaan tetap konsisten dijalankan, serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan kepada pemegang saham dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Fungsi pengawasan ini jelas tidak dapat dijalankan secara optimal tanpa kompetensi, pengalaman, dan integritas yang memadai. Komisaris harus mampu memahami laporan keuangan, menganalisis strategi bisnis, menilai risiko usaha, dan mengenali dinamika pasar di sektor terkait. Dengan kata lain, menjadi komisaris bukanlah peran simbolik atau sekadar jabatan prestisius, melainkan posisi yang menuntut kerja intelektual dan tanggung jawab profesional yang tinggi.
Dalam kajian manajemen strategis, terdapat teori Upper Echelons yang dikembangkan oleh Hambrick dan Mason (1984). Teori ini menjelaskan bahwa karakteristik pribadi para pemimpin di tingkat atas—baik CEO, direksi, maupun komisaris—akan sangat memengaruhi perilaku organisasi dan keputusan strategis perusahaan. Faktor-faktor seperti latar belakang pendidikan, pengalaman profesional, nilai-nilai pribadi, dan orientasi kognitif menjadi penentu utama dalam cara perusahaan merespons tantangan dan peluang. Artinya, siapa yang memimpin akan menentukan ke mana arah organisasi bergerak.
Dalam kerangka teori ini, Dewan Komisaris dapat dikategorikan sebagai bagian dari Top Management Team (TMT), terutama ketika mereka secara aktif terlibat dalam pemberian nasihat strategis, pengawasan eksekutif, dan evaluasi kinerja. Meski secara struktural mereka bukan bagian dari manajemen harian seperti direksi, namun pengaruh mereka terhadap arah kebijakan dan tata kelola perusahaan sangat signifikan. Oleh karena itu, karakteristik, latar belakang, dan motivasi para komisaris menjadi elemen penting yang memengaruhi dinamika dan performa BUMN secara keseluruhan.