Jika ditarik dalam konteks BUMN, penunjukan komisaris yang tidak memiliki latar belakang bisnis, manajerial, atau teknis yang relevan berpotensi menciptakan distorsi dalam proses pengambilan keputusan strategis. Komisaris yang tidak paham substansi akan kesulitan memberikan masukan yang bernas kepada direksi. Lebih jauh, mereka tidak akan mampu menjalankan fungsi pengawasan secara kritis, karena minimnya pemahaman terhadap isu-isu operasional dan strategis perusahaan. Ini membuka ruang lebar bagi keputusan bisnis yang tidak efisien, bahkan berisiko merugikan negara.
Selain persoalan kompetensi, terdapat pula masalah motivasi. Tidak sedikit yang melihat jabatan komisaris sebagai bentuk kompensasi politik atau instrumen tambahan untuk meningkatkan penghasilan pejabat publik yang merasa pendapatannya belum mencukupi. Ada pula anggapan bahwa jabatan komisaris diberikan untuk menutupi kekurangan insentif pada posisi asal seseorang, misalnya sebagai wakil menteri atau pejabat struktural lainnya. Pandangan seperti ini mencederai etika pelayanan publik dan menciptakan moral hazard dalam birokrasi. Ketika jabatan komisaris dijadikan alat kompensasi, maka prinsip meritokrasi akan terpinggirkan, dan profesionalisme menjadi korban.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kondisi ini berpotensi memperburuk kinerja BUMN. Tanpa pengawasan yang kuat, direksi bisa saja menjalankan perusahaan tanpa kontrol strategis yang memadai. Keputusan-keputusan penting seperti ekspansi usaha, investasi besar-besaran, restrukturisasi organisasi, atau pengembangan produk baru, bisa dilakukan tanpa masukan kritis dari komisaris. Hal ini rentan menimbulkan inefisiensi, pemborosan, dan bahkan fraud. Dalam banyak kasus, kita menyaksikan sejumlah BUMN yang akhirnya mencatatkan kerugian besar, meminta tambahan penyertaan modal negara (PMN), dan bahkan harus dibubarkan karena tidak sanggup lagi menjalankan usaha secara sehat.
Kondisi seperti ini bukan hanya menjadi masalah internal perusahaan, tetapi juga menciptakan beban fiskal bagi negara. Ketika BUMN tidak mampu menghasilkan keuntungan, negara kehilangan potensi penerimaan dari dividen. Lebih buruk lagi, negara justru harus mengalokasikan anggaran tambahan untuk menyelamatkan BUMN yang merugi. Ini berarti sumber daya publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur, terpaksa dialihkan untuk menambal lubang kegagalan tata kelola korporasi.
Masalah ini juga berdampak pada iklim investasi. Investor, baik dalam negeri maupun asing, akan kehilangan kepercayaan jika melihat bahwa pengelolaan BUMN dipenuhi oleh praktik-praktik tidak profesional. Ketika kepercayaan hilang, maka daya tarik BUMN sebagai mitra investasi akan menurun. Obligasi korporasi BUMN tidak lagi diminati, saham perusahaan negara menjadi kurang likuid, dan risiko sistemik dalam sektor keuangan bisa meningkat.
Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan krisis legitimasi dan kepercayaan publik. Masyarakat melihat bahwa jabatan strategis di perusahaan negara tidak lagi diisi oleh orang-orang yang memang memiliki kapasitas, melainkan oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan. Profesional muda yang kompeten menjadi apatis, karena merasa tidak memiliki kesempatan bersaing secara adil. Budaya organisasi pun terdampak; pegawai internal menjadi demotivasi melihat ketimpangan dalam sistem penghargaan dan jenjang karier.