Per Februari 2025, total pengangguran di dalam negeri tercatat 7,28 juta orang. Jumlah riilnya dipastikan lebih besar karena angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja per tahunnya rata-rata dua hingga tiga juta.
Seperti itulah ringkasan masalah yang nyata-nyata sedang menyelimuti Indonesia. Memang, Indonesia tidak sendiri. Di tengah perubahan zaman yang sarat ketidakpastian seperti sekarang, sejumlah negara pun dirundung masalah dengan model persoalan yang tentunya berbeda. Tantangannya pasti sama, yakni bagaimana segera mengatasi persoalan-persoalan dimaksud demi kebaikan semua orang.
Begitu juga dengan Indonesia. Semua kerusakan itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dibutuhkan inisiatif-inisiatif baru untuk menghentikan dan memperbaiki kerusakan itu. Dari mana memulainya tentu harus berpijak pada akar masalah. Untuk sampai pada akar masalah, perlu dilakukan evaluasi kritis yang komprehensif.
Setelah lebih dari dua dekade reformasi berjalan, warga bangsa masih dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia belum sepenuhnya menemukan sistem ketatanegaraan yang mampu menjawab dinamika perubahan zaman secara utuh dan berkesinambungan.
Sistem ketatanegaraan Indonesia belum mampu menyejahterakan seluruh rakyat. Sudah empat kali UUD 1945 mengalami perubahan yang dilakukan pada periode 1999–2002. Perubahan itu memang telah membawa transformasi besar.
Namun, masih banyak persoalan struktural dalam tata kelola kekuasaan, hukum, hingga etika publik yang membutuhkan pembaruan serius. Patut dipahami bahwa persoalan-persoalan struktural itulah yang menyebabkan negara belum mampu menyejahterakan rakyatnya.
Ringkasan masalah yang telah dipaparkan tadi menjadi bukti bahwa praktik ketatanegaraan pasca reformasi belum optimal, bahkan pada beberapa aspek justru terjadi kemunduran. Terjadi kooptasi kekuasaan oleh oligarki. Oligarki tidak pernah peduli pada rakyat karena dia fokus cari untung untuk kelompoknya.