Oleh: Prakoso Bhairawa Putera (Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN)
Dalam lanskap kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) nasional yang terus berkembang, tantangan klasik mengenai keberlanjutan pendanaan riset dan inovasi masih menjadi persoalan utama. Ketergantungan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menghadirkan keterbatasan fiskal, terutama dalam menjawab dinamika kebutuhan riset yang bersifat multidisipliner, lintas sektor, dan berjangka panjang.
Di tengah keterbatasan itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menawarkan suatu pendekatan alternatif yang tidak hanya inovatif, tetapi juga membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas, yaitu melalui skema Object Naming Rights atau kemudian disebut dengan ON-Rights atau Hak Penamaan Objek.
Gagasan ON-Rights bukanlah sekadar upaya branding atau komersialisasi simbolik, melainkan bagian dari strategi diversifikasi sumber pembiayaan riset di Indonesia. Dalam konteks global, beberapa lembaga ilmiah telah memanfaatkan pendekatan serupa.
Teleskop, gedung riset, hingga spesies baru kadang dinamai untuk menghormati kontribusi individual atau sponsor yang memberikan dukungan pendanaan. Namun di Indonesia, skema ini kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari turunan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Badan Riset dan Inovasi Nasional Nomor 9 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Pendanaan Riset dan Inovasi.
Regulasi tersebut secara eksplisit membuka peluang sumber pendanaan riset tidak hanya dari APBN, tetapi juga dari anggaran daerah, hasil pengembangan dana abadi penelitian, kontribusi dunia usaha, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat—termasuk dari pihak asing.
Pasal 5 dari peraturan tersebut menegaskan bahwa sumber lain ini dapat berasal dari siapa pun, selama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Inilah fondasi hukum yang memungkinkan hadirnya skema ON-Rights sebagai salah satu terobosan kelembagaan BRIN.