Oleh : Suci Kurnia Putri, S.Pd. (Guru Sosiologi SMA Islam Al Ishlah Bukittinggi)
Pendidikan inklusif kini tidak lagi menjadi wacana terbatas pada sekolah luar biasa, melainkan sudah merambah ke sekolah reguler sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang ramah dan adil bagi semua anak.
SMA Islam Al Ishlah Bukittinggi menjadi salah satu sekolah yang mengambil peran dalam transformasi ini melalui kegiatan In House Training (IHT) bertema Pengelolaan Kelas Inklusi di Sekolah Reguler, yang dilaksanakan pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber utama, Erma, S.Pd., Kepala Sekolah SLBN 1 Bukittinggi. Ia dikenal luas sebagai sosok yang berpengalaman dalam pengelolaan pendidikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Melalui pelatihan ini, para guru di SMA Islam Al Ishlah dibekali dengan pemahaman baru mengenai bagaimana menciptakan ruang kelas yang mendukung pembelajaran inklusif, tanpa harus mengorbankan kualitas pengajaran secara umum.
Mengelola kelas reguler yang inklusif berarti memberikan tempat bagi siswa dengan berbagai latar belakang dan kebutuhan untuk berkembang bersama. Ini bukan hal yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang mustahil. Justru di sinilah tantangan pendidikan modern berada, bagaimana memastikan tidak ada satupun anak yang tertinggal, meskipun mereka berbeda.
Melalui IHT ini, para guru tidak hanya dikenalkan dengan teori-teori dasar pendidikan inklusif, tetapi juga diberikan contoh konkret tentang praktik pengelolaan kelas yang adaptif. Diskusi interaktif yang terjadi selama pelatihan menunjukkan tingginya antusiasme guru dalam memahami pendekatan-pendekatan baru yang bisa diterapkan di ruang kelas mereka masing-masing.
Kegiatan ini juga menjadi ruang reflektif bagi guru untuk menyadari bahwa kelas inklusif bukan hanya soal penerimaan, tetapi tentang kesiapan sistem, mulai dari metode mengajar, pendekatan individual, hingga keterlibatan semua pihak dalam mendukung keberhasilan belajar siswa.
Salah satu fokus penting dalam pelatihan ini adalah peningkatan kompetensi pedagogis dan sosial guru. Pendidikan inklusif menuntut guru untuk memiliki sensitivitas terhadap keberagaman, termasuk kebutuhan fisik, emosional, dan intelektual siswa. Guru perlu mengetahui kapan harus menyesuaikan metode, bagaimana menciptakan suasana belajar yang kondusif, dan bagaimana membangun komunikasi efektif dengan siswa berkebutuhan khusus serta keluarganya.
Erma menekankan bahwa inklusi bukan tentang menyamakan semua siswa, tetapi mengenali keunikan tiap anak dan memfasilitasi mereka secara adil. Dalam banyak kasus, kehadiran PDBK justru memunculkan semangat empati dan solidaritas di antara siswa lainnya. Kelas menjadi lebih manusiawi dan bermakna, karena semua belajar tentang perbedaan, toleransi, dan kepedulian.
Keputusan SMA Islam Al Ishlah Bukittinggi menggelar IHT ini mencerminkan karakter sekolah yang progresif dan berorientasi pada masa depan. Di tengah banyaknya sekolah yang masih ragu membuka diri terhadap inklusi, langkah ini patut menjadi teladan. Apalagi, sebagai sekolah berbasis nilai Islam, SMA Islam Al Ishlah mengedepankan semangat kasih sayang, kesetaraan, dan kepedulian dalam pendidikan.
Pendidikan Islam sejatinya telah lebih dulu mengajarkan pentingnya menyayangi sesama, memperlakukan orang dengan adil, dan mengangkat harkat manusia apapun keadaannya. Dengan menyambut keberagaman di kelas reguler, sekolah ini tidak hanya melaksanakan prinsip keislaman secara aplikatif, tetapi juga sekaligus menjawab tantangan zaman.
Inklusi tidak bertentangan dengan prinsip kualitas, melainkan memperkaya proses pendidikan itu sendiri. Anak-anak yang belajar dalam suasana yang menghargai perbedaan akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang secara sosial dan emosional.
Langkah awal melalui IHT ini tentu saja harus diikuti oleh langkah lanjutan. Diperlukan tindak lanjut seperti penyusunan kebijakan sekolah yang mendukung program inklusi, pelatihan lanjutan secara berkala, hingga kemungkinan penempatan guru pendamping untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Kolaborasi dengan orang tua juga sangat penting agar semua pihak memiliki pemahaman yang sama dalam mendampingi anak-anak.
Tak kalah penting, sekolah juga perlu menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan luar biasa dan dinas pendidikan setempat agar mendapat dukungan teknis dan kebijakan yang selaras. Inklusi adalah proses berkelanjutan, bukan proyek satu kali.
Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi yang terus dibangun, sekolah berharap bisa mewujudkan sekolah yang benar-benar untuk semua. Karena sejatinya, sekolah yang baik bukan yang hanya mencetak juara, tetapi juga yang mampu merangkul semua anak, apapun latar dan keadaannya. (*)