Kedua, teknologi tanpa olah tanah (zero tillage) sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lama di Indonesia, akan tetapi tidak diadopsi oleh petani. Petani tetap saja membajak atau mencangkul sawahnya, meskipun menguras tenaga petani untuk mengolah tanah sawah tersebut. Dari beberapa referensi disebut bahwa TOT tidak berkembang karena beberapa tantangan dan kendala, terutama dalam mengendalikan gulma dan potensi penurunan hasil panen pada awal penerapan.
Selanjutnya, mari kita pahami tentang pertanian konvensional tersebut adalah sistem pertanian yang mengandalkan penggunaan input kimia sintetis, seperti pupuk dan pestisida untuk meningkatkan hasil panen. Sistem ini bertujuan untuk memaksimalkan produksi, seringkali dengan mengorbankan dampak lingkungan.
Lebih detailnya, pertanian konvensional dicirikan oleh penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma serta untuk menyuburkan tanaman.
Kemudian, bergantung pada input dari luar seperti benih, pupuk, dan pestisida, yang dapat meningkatkan biaya produksi dan ketergantungan pada pasar, dan ini tentu bisa dianalogikan dengan Sawah Pokok Mahal (SPM+).
SPM tentu sangat menarik oleh petani apalagi kalau memang bisa meningkatkan hasil panen mereka dan tidak melakukan pengolahan tanah, tapi ada kerja untuk membuat selokan di sisi bedeng untuk penanaman padi sawah tersebut. Basilang kayu di tungku mako di sinan nasi masak. Semoga. (*)