Oleh: Israr Iskandar (Dosen Sejarah FIB Unand)
Sekalipun masih dalam proses penggarapan, tetapi penulisan ulang buku sejarah nasional oleh Kementerian Kebudayaan saat ini telah menuai beragam polemik di kalangan akademisi, intelektual, politisi dan masyarakat. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon dan para editor umum (Susanto Zuhdi, Singgih T Sulistiyono, dan Jajat Burhanuddin) menyebutnya sebagai “sejarah resmi” (official history) yang nanti akan menjadi acuan utama, khususnya dalam pembelajaran sejarah di sekolah.
Penulisan ulang sejarah (nasional) Indonesia ini sebenarnya mencakup kurun waktu yang sangat panjang (longue duree), dimulai sejak masa pra-sejarah, peradaban Hindu dan Buddha, Islam, kolonialisme Belanda dan pergerakan nasional, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Era Reformasi, dan pasca-Reformasi. Terdiri dari 10 jilid dengan judul-judul per jilid yang terus mengalami proses penajaman dan pematangan. Untuk jilid terakhir, misalnya, batasan temporalnya adalah pelantikan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024.
Seperti juga pada buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbitan 1975 dan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada tahun 2009, polemik atas penulisan ulang sejarah nasional Indonesia edisi 2025 ini pada umumnya terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode kontemporer, yakni sejarah yang kejadiannya belum terlalu lama berlalu; para pelaku dan saksinya bahkan sebagian masih hidup. Publik menunggu. Seperti apakah periode Indonesia kontemporer digambarkan dalam buku “babon” sejarah yang rencana semula akan dirilis pada HUT Republik Indonesia ke-80 itu? Termasuk narasi tentang peran mereka yang disebut tokoh-tokoh besar dan tokoh-tokoh penting dalam berbagai periode sejarah kontemporer: para presiden, wakil-wakil presiden, pemimpin militer dan kepolisian, pemimpin partai-partai, anggota kabinet tertentu, ketua-ketua lembaga tinggi negara, tokoh-tokoh oposisi, dan lain sebagainya.
Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) umpamanya, merupakan babak sejarah yang masih akan menimbulkan polemik dan perdebatan. Pembahasan atas peran aktor-aktor sejarah pada masa itu, terutama Soekarno, pemimpin militer, tokoh-tokoh PKI dan golongan “oposisi” pada masa itu sudah tentu dapat menimbulkan diskusi “hangat” di kalangan publik.
Begitu juga proses transisi dari rezim Soekarno ke Soeharto, utamanya terkait peristiwa 1965 yang pernah disebut Brian May (1978) sebagai “Indonesian Tragedy”. Baru-baru ini, polemik yang muncul antara lain terkait istilah “G30S/PKI” dan “keterkaitan” Presiden Soekarno dalam kudeta berdarah itu. Begitu pula, polemik soal “peran” Pangkostrad Soeharto, tidak hanya dalam aksi-aksi penumpasan PKI, tetapi juga rangkaian kekerasan terhadap mereka yang dikaitkan dengan komunis dan paham “kiri” pada umumnya.
Untuk narasi sejarah Orde Baru, polemik yang sudah kembali muncul terkait penggambaran terhadap masalah pelanggaraan HAM di banyak tempat dan rentetan tahun, upaya de-Sukarnoisasi, de-Islamisasi, de-politisasi, dan seterusnya. Polemik soal pelanggaran HAM di masa Soeharto, umpamanya, buku IDAS sendiri sudah memberikan narasi yang relatif objektif, namun belakangan muncul kembali kekhawatiran publik, bahwa pemerintah akan membalikkan kembali narasi tersebut.