Tentu narasi tentang kejatuhan rezim Orde Baru Soeharto pada tahun 1998 akan menjadi topik tak kalah hangat. Kasus kerusuhan sosial dan pelanggaran HAM kembali akan menjadi salah satu titik krusial perdebatan. Tokoh-tokoh penting pada masa itu akan menjadi perhatian dan bahkan bahan perbincangan, termasuk umpamanya Soeharto, Habibie, Prabowo, Wiranto, Amien Rais, Harmoko, Megawati, Akbar Tandjung, Susilo B. Yudhoyono, Abdurrahman Wahid, dan seterusnya.
Prabowo misalnya, penggambaran atas perannya dalam huru-hara 1997/1998 tentu akan menjadi perhatian dan perbincangan publik. Bagaimana buku sejarah yang disusun pada masa (awal) pemerintahan Presiden Prabowo ini menggambarkan dan menilai keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang menetapkan mantan Pangkostrad itu bersalah dan melakukan beberapa penyimpangan, termasuk dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1998? Apakah Prabowo “dipecat” atau “diberhentikan”?
Periode era Reformasi, atau pasca-Orde Baru, sudah tentu juga akan sangat menarik. Era Reformasi adalah masa tumbuh kembangnya (kembali) demokrasi di negeri ini. Sistem multipartai, pemilihan langsung, otonomi daerah, penghapusan dwifungsi TNI, kebebasan pers, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya adalah tema-tema sejarah akan menjadi sorotan publik. Untuk jabatan presiden, selama 27 tahun era Reformasi berjalan Indonesia sudah memiliki lima presiden yang tiga di antaranya dipilih lewat sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
udah tentu banyak polemik yang bisa muncul di tengah masyarakat yang kini sudah lebih mudah terakses dengan wacana kesejarahan dan politik. Publik tentu juga menanti seperti apa sejarah resmi edisi pemerintah Prabowo ini menggambarkan peran kesejarahan presiden-presiden yang terdahulu dan warisan-warisan kebijakannya. Mungkin juga gambaran personalitas para tokoh besar tersebut. Bagaimana pula buku sejarah ini nantinya akan bercerita tentang sejarah-sejarah lokal di Indonesia, seperti Papua, Aceh, dan seterusnya dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
Sejak awal, tim editor penulisan ulang sejarah nasional ini sudah menjelaskan esensi historiografi yang sekarang sedang dikerjakan bersama seratusan sejarawan dari Aceh sampai Papua. Penulisan ini berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila agar tetap objektif, bebas dari bias kekuasaan, serta memberikan ruang bagi munculnya narasi-narasi alternatif dari kelompok-kelompok yang selama ini kurang mendapatkan tempat, seperti perempuan, masyarakat adat, dan komunitas minoritas (Singgih, 2025).
Namun demikian, debat dan polemik sejarah, apalagi pada tema-tema sejarah kontemporer, tetap tidak akan terhindarkan. Namun yang terpenting, sejarah yang ditampilkan mesti berdasarkan pada fakta objektif bukan opini subyektif, apalagi yang menjadikan sejarah hanya sebagai instrumen kekuasaan belaka seperti di masa Orde Baru. Rekonstruksi sejarah di era demokrasi, di mana setiap pihak dapat menulis sejarah berdasarkan fakta dan berdasarkan metodologi yang bisa diuji semestinya dimaknai sebagai bagian dari proses pendewasaan berbangsa. (*)