Oleh: Hardiansyah Padli
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Baru-baru ini 12 orang guru besar UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi telah dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan pada hari Rabu 23 Juli 2025, yang dikukuhkan langsung oleh Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. Amin Suyitno di Student Center UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.
Pengukuhan 12 orang guru besar secara serentak merupakan peristiwa monumental yang patut dirayakan, baik oleh sivitas akademika UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi maupun komunitas akademik di Indonesia secara luas.
Di tengah situasi akademik yang semakin kompleks, pengukuhan guru besar bukan hanya menjadi momentum kebanggaan institusional, tetapi juga simbol keberhasilan perjalanan panjang seorang akademisi dalam menapaki jalan keilmuan dari ketekunan dalam melakukan riset, publikasi hingga kontribusi pengetahuan dalam ruang-ruang perkuliahan.
Guru besar bukan sekadar jabatan administratif atau simbol prestise akademik, ia lebih dari itu, yakni representasi dari otoritas intelektual dan tanggung jawab moral. Kehadiran guru besar diharapkan sebagai penjaga integritas akademik, mutu keilmuan dan arah pendidikan tinggi di Indonesia.
Di tengah gegap gempita prosesi pengukuhan kemarin, kita dihadapkan pada ironi. Laporan Indeks Integritas Akademik (Research Risk Index/RI2) oleh Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut baru-baru ini menempatkan 13 perguruan tinggi (PT) besar di Indonesia dalam kategori buruk (red flag), berisiko buruk (high risk), dan dalam pemantauan (watch list) terkait rendahnya integritas akademik. Ini bukan sekadar catatan angka-angka, melainkan alarm keras bahwa dunia akademik kita tengah dilanda krisis kepercayaan.
Gejala manipulasi publikasi, plagiarisme, dan komersialisasi gelar bukan lagi praktik terselubung di dunia akademik. Dalam pelbagai kasus, publik menyaksikan bagaimana budaya akademik diwarnai oleh obsesi terhadap kuantitas publikasi, pemeringkatan institusi, dan angka kredit jabatan.
Kehadiran pengetahuan seharusnya melahirkan spirit mencari kebenaran dan kemaslahatan, malah terdegradasi menjadi komoditas administratif yang kehilangan nilai etik.
Kita tengah menghadapi kondisi yang paradoks hari ini, dimana kampus sebagai pusat akal sehat justru sebagian mulai terjebak dalam praktik-praktik yang melemahkan marwah keilmuan. Kita tidak hanya mempertaruhkan reputasi institusi perguruan tinggi, tetapi juga kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Di tengah krisis inilah, peran guru besar menjadi sangat strategis. Mereka tidak cukup hanya menjadi pemegang gelar, tetapi dituntut menjadi penjaga etika akademik dan agen pemulih integritas keilmuan yang mulai goyah.
Meminjam konsep symbolic capital (kapital simbolik) dari sosiolog Pierre Bourdieu, guru besar dapat dipandang sebagai bentuk symbolic capital (kapital simbolik), yaitu simbol kehormatan yang menghadirkan legitimasi, kehormatan dan otoritas moral dalam ruang akademik. Symbolic capital (kapital simbolik) ini hanya akan bermkna, ketika ditopang oleh kualitas riset, kekuatan gagasan, dan kontribusi dalam mendampingi transformasi sosial masyarakat. Ketiadaan dari ketiga elemen tersebut, hanya menjadikan gelar guru besar sebatas symbolic capital (kapital simbolik) yang hampa makna, yaitu gelar yang kehilangan gema intelektual dan relevansi sosialnya.
Kemudian, guru besar patut waspada untuk tidak terjebak dalam paradigma menara gading, sebuah pandangan yang memisahkan kaum akademisi dari denyut kehidupan sosial. Menara gading mendeskripsikan sikap eksklusif, elitis, dan terasing dari realitas sosial.
Pengetahuan hanya diproduksi semata untuk kepentingan wacana internal akademik tanpa ada keberpihakan kepada kemaslahatan dan kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, guru besar berisiko terperangkap dalam rutinitas akademik yang berimbas pada jauhnya para akademisi dari kehidupan masyarakat.
Padahal pengetahuan harus guru besar tidak cukup hanya hadir di ruang-ruang seminar dan jurnal ilmiah.
Guru besar harus menjadi aktor yang menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan di tengah dinamika masyarakat. Kehadiran guru besar diharapkan mampumenjawab keresahan publik, menawarkan solusi berbasis bukti, dan menjadi bagian penting dari proses transformasi bangsa.
Sebagai contoh, hari ini kita tengah berhadapan dengan pelbagai persoalan seperti perubahan iklim, intoleransi sosial, atau kemiskinan struktural, maka guru besar idealnya tidaklah bersikap pasif. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam menginisiasi riset interdisipliner yang berdampak langsung menurai akar persoalan tadi.
Sejarah telah mencatat bahwa kaum intelektual memainkan peran penting dalam membimbing arah perubahan sosial, politik dan budaya. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dari Sumatera Barat seperti Bung Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Sutan Sjahrir, hingga Buya Hamka memberikan teladan kepada kita bahwa mereka dikenal bukan hanya dari karya ilmiahnya saja, tetapi karena keberanian dalam menyuarakan kebenaran dan keberpihakan pada rakyat kecil. Otoritas intelektual tidak lahir dari jabatan struktural, tetapi dari integritas moral dan komitmen pada kemaslahatan publik.
Pada akhirnya, pengukuhan 12 guru besar ini tidak sekadar seremoni belaka, melainkan panggilan untuk meneguhkan kembali makna keilmuan yang berintegritas.
Kita berharap 12 guru besar yang baru dikukuhkan ini tidak hanya menjadi simbol kebanggaan institusi, tetapi menjadi pelita keilmuan yang senantiasa menyinari jalan perubahan di tengah krisis nilai yang melanda dunia akademik. Di tengah kegelapan integritas ilmiah dan etika akademik, guru besar harus benar-benar hadir sebagai penerang marwah keilmuan, budaya ilmiah yang bercahaya, dan katrol penggerak kontribusi sosial yang nyata. Sebab, dalam gelar tertinggi ini melekat tanggung jawab sebagai aktor yang menyuarakan kebenaran, penopang akal sehat publik, dan pembimbing jalan peradaban. (*)