Masyarakat pedesaan Jawa, oleh Koentjaraningrat, merasa senang sepanjang sudah ngumpul dengan keluarga. “Mangan ora mangan sing penting ngumpul“.
Masyarakat Minang perantauan saling bahu-membahu dalam menolong keluarga sekampung di perantauan. Migrasi berantai keluarga Minang membuat orang Minang di rantau bisa hidup dan bekerja.
Begitupun suku Batak. Kehidupan sosial mereka tidak tertandingi, bagaimana pesta keluarga Batak, menjamu marga lain secara sempurna.
Sementara di negara seperti barat atau timur Asia, kehidupan penuh stres, dikejar target dalam bekerja dan hidup. Dan kondisi ditemukan tidak kecil berakhir kehidupan dengan bunuh diri atau masa masa tua yang kesepian (loneliness).
Masyarakat Indonesia memang tidak terlalu merisaukan rezeki. Rezeki diterima apa adanya, ikhlas dengan kondisi, walaupun terparah dalam kehidupan. Kalau tak punya beras bisa pinjam dulu, nanti dibayar setelah panen.
Sikap ikhlas seperti ini membuat hidup di dunia cukup dihadapi dengan kesanggupan ala kadarnya. Kita bisa saksikan pesta kawinan di kota dan di desa, berapapun biaya mereka akan penuhi, dan panggil semua sanak keluarga walau dengan cara berutang.
Mungkin hal-hal sosial, kesimbangan, dan keikhlasan hidup membuat indeks capaian kebahagiaan Indonesia menurut jawaban responden menjadi meningkat. Miskin tidak apa, karena toh mereka masih bisa hidup apa adanya.
Miskin pun masih banyak tatanan sosial yang meringankan beban mereka. Kira-kira begitu. Akhirnya kembali kepada tujuan hidup, ternyata ketercapaian unsur moneter tidak selalu mampu membuat orang bahagia. (*)