Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (peneliti jati diri budaya)
Pendahuluan
Dalam berbagai kesempatan, seringkali saya menyatakan bahwa dalam kegiatan penelitian, saya telah membagi orang Minangkabau menjadi tiga kelompok. Pertama: Minang asli, kedua: Minang anyuik (hanyut), dan ketiga: Minang karam. Pembagian ini menarik dan memudahkan saya untuk mengenali ciri-ciri seorang atau sekelompok individu Minangkabau sesuai kategorinya. Di antara yang paling banyak jumlahnya hari ini adalah kelompok “Minang anyuik”. Namun demikian, sifat hanyut masih bisa dipintas, artinya kelompok ini masih bisa diselamatkan, maka kepada kelompok inilah fokus perhatian saya.
Selanjutnya, filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS-SBK-SMAM) telah lama menjadi pedoman hidup orang Minangkabau. Filosofi yang lebih populer disingkat sebagai ABS-SBK saja, sesungguhnya bukan sekadar ungkapan puitis belaka, tetapi ia adalah dasar jati diri budaya (cultural identity) yang membentuk sikap dan prilaku orang Minangkabau, sekaligus yang menyatukan adat dan agama dalam satu nafas.
Namun, kenyataannya kebanyakan generasi hari ini melihat ABS-SBK tersebut hanya sebagai semboyan saja. Sementara itu, agama dalam prakteknya cenderung hanya simbol dan ritual saja. Keadaan ini dengan jelas memperlihatkan adanya jurang antara semboyan dan kenyataan.
Ketika Filosofi ABS-SBK Hanya Jadi Hiasan
Bagi orang Minangkabau, filosofi ABS-SBK sudah lama menjadi identitas kultural (jati diri budaya) yang diakui secara turun-temurun. Sesungguhnya filosofi itu bukan hanya ungkapan simbolik, tetapi menjadi prinsip hidup yang memandu sikap, tingkah laku, serta cara pandang masyarakat dalam menghadapi berbagai tantang perubahan zaman.
Namun, yang memprihatinkan, sekarang ABS-SBK justru kian hari tampak semakin kehilangan roh-nya. Ia hanya jadi hiasan, yang hidup hanya dalam pidato-pidato resmi, tertulis di spanduk atau dinding kantor pemerintahan. Sedangkan dalam praktiknya, filosofi ini kian jauh dari kehidupan masyarakat secara umum, terutama generasi muda. ABS-SBK sebagai dasar jati diri budaya Minangkabau hari ini sedang mengalami krisis perwarisan, sehingga melahirkan sebuah paradok budaya.
Ketika ABS-SBK hanya jadi hiasan saja, dampaknya generasi Minangkabau terancam kehilangan jadi diri budaya mereka. Jati diri budaya adalah keunikan atau ciri khas cara hidup sekelompok orang atau suatu etnik/suku kaum atau bangsa. Suatu kaum atau bangsa akan menjadi besar jika nilai-nilai adat/budaya berakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya (Setiowati 2019). Jati diri budaya adalah tameng dalam upaya mempertahankan keberadaan suatu suku kaum atau bangsa, agar tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya atau ideologi yang datang menyerang dari luar, inilah wujud dari perang budaya.
Bukti-bukti Kelunturan Jati Diri Minangkabau
Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa dua unsur utama dalam falsafah ABS-SBK, yaitu adat dan agama, kini keduanya sedang mengalami proses ketergerusan. Dari kedua unsur tersebut, terdapat beberapa bukti bahwa hari ini orang Minangkabau sedang mengalami kelunturan jati diri budayanya, antara lain:
Dari Perspektif Adat Budaya.
Bahasa Minangkabau mulai ditinggalkan: Salah satu gejala paling nyata dari kerusakan atau krisis identitas (jati diri) ini adalah lunturnya penggunaan bahasa Minangkabau dalam rumah tangga akibat pengaruh modernisasi. Generasi para orang tua kelahiran sekitar 70-an dan 80-an ke atas lebih memilih berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka ketimbang berbahasa Minangkabau. Sebenarnya sudah dimulai sejak orang tua kelahiran 60an, tetapi semakin menjadi-jadi di zaman ibu bapa kelahirah 80an ke atas. Alasannya, bahasa Indonesia dianggap lebih modern dan netral. Sedangkan di satu sisi, Sapir (1921) mengatakan “Language is a guide to social reality”. Artinya, bahasa itu adalah kendaraan utama budaya, atau tuntunan untuk memahami realitas sosial.
Upacara adat dan nilai-nilai luhur mulai kehilangan makna: Perkawinan adat, batagak pangulu, dan alek nagari makin jarang dilakukan secara utuh sesuai amanat warisan. Artinya, ketidak-fahaman karena minimnya pengetahuan adat, membuat pelaksanaannya terkadang hanya menjadi seremoni tanpa pemaknaan adat yang sesungguhnya. Selain itu, hari ini kebanyakan para penghulu dan ninik mamak hanya ingin menyandang gelar supaya dipanggil “datuk” sebagai titel, tanpa tahu makna, fungsi dan perannya sebagai mamak atau kepala kaum. Sementara itu, anak-anak muda banyak yang tidak lagi mengenal struktur kekerabatan matrilineal, sistem suku, dan fungsi mamak dan penghulu adat. Bahkan ada yang tak kenal suku dan datuknya.