Oleh: Andes Robensyah, S.H., M.H
Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Barat
Penegakkan hukum terhadap korupsi terbaru ini memperlihatkan betapa penegakan hukum hanya sebagai formalitas saja, meski berjalan, masih diwarnai toleransi terhadap pelaku berprofil tinggi. Ketika hukuman terkesan lemah dan grasi bisa diberikan secara politis, publik makin skeptis terhadap efektivitas sistem hukum dalam menegakkan keadilan antikorupsi.
Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar penyakit kronis, melainkan telah menjadi wabah yang menggerogoti fondasi negara. Dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga eksekutif, praktik lancung ini merajalela dengan pola yang semakin canggih. Kasus-kasus korupsi yang mencuat setiap tahun hanyalah puncak dari gunung es, sementara praktik-praktik kotor lain tetap laten, tersembunyi di balik layar kekuasaan.
Ironisnya, negeri ini telah memiliki segudang regulasi, lembaga antikorupsi, hingga slogan-slogan manis tentang integritas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kegagalan kita yang nyata. Pejabat yang bersumpah untuk melayani rakyat justru mengkhianati amanah itu demi memperkaya diri sendiri. Tak jarang, kasus yang melibatkan miliaran bahkan triliunan rupiah hanya berakhir dengan hukuman ringan, jauh dari efek jera yang diharapkan.
Korupsi bukan hanya merampok uang negara, tetapi juga merampas hak rakyat untuk hidup sejahtera. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti jalan yang tak dibangun, sekolah yang tak diperbaiki, dan obat yang tak sampai kepada pasien miskin. Lebih dari itu, korupsi telah menciptakan budaya permisif: di mana integritas dianggap naif, dan kelicikan dipandang sebagai kecerdikan.
Fakta berbicara sebagaimana data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren kasus korupsi justru meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2023 tercatat 791 kasus dengan 1.695 tersangka, dan memasuki 2024, kasus-kasus besar kembali mencuat mulai dari korupsi tata niaga timah dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun hingga skandal pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, di balik megahnya angka kerugian negara, hukuman yang dijatuhkan kerap tidak sebanding. Vonis ringan, remisi besar-besaran, bahkan fasilitas mewah di penjara menjadi pemandangan yang akrab di negeri ini.
Ketiadaan efek jera ini melahirkan lingkaran setan. Pejabat baru yang melihat rekannya bisa lolos dengan hukuman ringan akan terdorong melakukan hal serupa. Publik pun semakin apatis, kehilangan kepercayaan pada sistem hukum yang dianggap hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Korupsi yang tidak pernah memberikan efek jera ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Ia merusak tatanan hukum, menghancurkan kepercayaan publik, dan menggerogoti kesejahteraan rakyat. Selama penegakan hukum hanya berhenti pada simbolisasi dan tidak menyentuh akar masalah, korupsi akan terus menjadi warisan busuk dari satu rezim ke rezim berikutnya.
Indonesia saat ini memiliki perangkat hukum yang di atas kertas tampak kokoh untuk memberantas korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi landasan utama. Ada pula UU Nomor 30 Tahun 2002 jo. UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah aturan turunan mengenai gratifikasi, tindak pidana pencucian uang, hingga pengadaan barang dan jasa. Ditopang pula oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI.