Secara normatif, perangkat hukum ini sudah cukup untuk “membumihanguskan” korupsi. Bahkan, hukuman bagi koruptor telah diatur berat mulai dari pidana penjara seumur hidup, pidana mati untuk kondisi tertentu, hingga perampasan aset. Namun, fakta di lapangan berkata lain: korupsi tetap merajalela, bahkan semakin canggih dan sistematis.
Mengapa? Masalahnya bukan pada ketiadaan instrumen hukum, tetapi pada lemahnya implementasi dan integritas penegak hukum itu sendiri. Vonis ringan, remisi besar-besaran, kompromi politik, dan kriminalisasi terhadap pengungkap kasus menjadi bukti bahwa hukum sering kali tidak dijalankan secara tegas. UU yang seharusnya menjadi senjata pamungkas justru tumpul saat dihadapkan pada kepentingan elit.
Dengan kondisi ini, pertanyaannya bukan lagi apakah hukum kita cukup, tetapi apakah hukum benar-benar ditegakkan? Tanpa kemauan politik yang kuat, integritas penegak hukum, dan partisipasi publik yang aktif, semua perangkat hukum yang megah hanyalah hiasan di rak peraturan. Korupsi tidak akan pernah benar-benar diberantas, melainkan terus diwariskan dari satu generasi pejabat ke generasi berikutnya.
Indonesia memiliki hukum antikorupsi yang cukup, bahkan lengkap. Namun, tanpa implementasi yang jujur, tanpa penindakan tegas terhadap elite, dan tanpa pemulihan aset secara maksimal, hukum hanyalah pajangan. Korupsi akan terus hidup dan membusuk dalam sistem, menunggu celah baru untuk kembali menjebol kesejahteraan bangsa.
Tanpa langkah tegas, korupsi akan terus mengakar dan menggerogoti masa depan bangsa. Sudah saatnya Indonesia tidak hanya mengutuk korupsi, tetapi benar-benar bertindak memutus rantai busuk ini. Penindakan korupsi yang serius bukan pilihan, tetapi keharusan demi keberlangsungan negara yang berdaulat, adil, dan sejahtera. (*)