Juniar Gulo, Mahasiswa Stisip Imam Bonjol
Baru ini, dunia maya heboh menanggapi kejadian yang sontak viral, seorang guru di SMAN I Cimarga diduga lakukan tindak kekerasan terhadap siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Perbuatan yang dilakukan oleh siswa yang bersangkutan tentu sangat tidak dibenarkan, terlebih lagi itu di area sekolah yang harus nya menjadi kawasan tanpa asap rokok. Larangan merokok di sekolah memiliki payung hukum yang jelas termaktub dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah.
Aturan ini tidak hanya berlaku pada siswa melainkan juga para guru. Tidak salah memang ketika seorang guru menegur siswa yang merokok, tetapi yang menjadi sorotan publik adalah tindak kekerasan yang dilakukan guru sebagai bentuk teguran kepada siswa tersebut.
Sebagai seorang guru sejatinya bertugas melayani murid sekaligus menjadi role model para siswa harusnya mampu mengendalikan sikap meskipun dalam keadaan beban emosi yang menggunung. Barangkali hal ini terjadi, karena guru terduga sudah tidak bisa mengendalikan emosi, menormalisasi kekerasan kepada siswa untuk memberi efek jera sehingga luput dengan adanya alternatif sanksi lain yang dapat diberikan kepada siswa tersebut.
Sekolah yang harusnya menjadi tempat pembentukan karakter bagi siswa tidak sepatutnya membenarkan adanya kekerasan fisik, selaras dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 yang mengatur secara spesifik pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, termasuk yang dilakukan oleh guru. Namun, disisi saya tidak sepenuhnya kesalahan tertuju kepada guru karena perbuatan yang dilakukan siswa itupun sudah jelas menyalahi aturan.
Merujuk pada video yang sempat viral orang tua siswa yang bersangkutan tidak menerima anaknya diperlakukan keras bahkan ditampar dan ditendang oleh oknum guru akibat kepergok merokok, mirisnya ratusan siswa mogok belajar usai kejadian ini yang katanya sebagai bentuk protes terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru itu. Dari kaca mata penulis kejadian ini sedikit kompleks karena kedua belah pihak sama-sama berada diposisi yang salah jika mengacu kepada aturan yang berlaku.
Siswa salah karena melakukan perbuatan terlarang di lingkungan sekolah, sementara guru juga salah karena tersulut emosi sehingga khilaf melakukan tindak kekerasan yang tidak dibenarkan di lingkungan sekolah meskipun tujuan nya untuk kebaikan siswa tersebut.
Dengan demikian harusnya seorang guru mampu mengontrol emosional menyikapi situasi yang serupa, begitu juga dengan siswa harus mematuhi setiap aturan yang ditetapkan, tidak berbuat seenaknya merokok di area sekolah serta teruntuk orang tua siswapun harus peka terhadap perilaku buruk anaknya sehingga tidak menyudutkan satu pihak saja. Harapannya kejadian serupa tidak terulang lagi di lingkup pendidikan kita. (*)