Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand)
Kurang dari dua bulan yang lalu, tepatnya menjelang akhir Agustus, Indonesia secara nasional sempat berada dalam suasana mencekam yang sangat tidak kondusif bagi berjalannya kehidupan sebuah negara.
Yang sempat mengalami pergantian rezim Orde Baru dengan era Reformasi, yang ditandai dengan insiden kericuhan 98, suasananya yang dimaksud kira-kira mendekati. Sebenarnya kericuhan besar dua bulan yang lalu bukan sesuatu yang terjadi spontan, melainkan kulminasi dari serangkaian hal-hal yang kemudian menumpuk menjadi sesuatu yang tidak tertahankan lagi secara komunal. Hal-hal yang dimaksud di sini adalah berbagai keputusan politik yang dihasilkan oleh para pemangku kebijakan di negara ini.
Mulai dari kenaikan dan pertambahan item pajak, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang tidak dibarengi oleh kenaikan pendapatan masyarakat, dan yang lebih parahnya lagi, kurangnya simpati para petinggi di negara ini terhadap kondisi masyarakat bawah. Puncaknya adalah ketika para wakil rakyat yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengumumkan kenaikan tunjangan hidup di atas gaji bulanan mereka yang sudah melangit. Selain disertai dengan tarian kegembiraan dari anggota wakil rakyat tersebut menyambut kenaikan tunjangan perumahan, beberapa dari mereka merespons rasa keberatan yang disampaikan oleh masyarakat atas kenaikan tersebut dengan bahasa yang tidak menunjukkan rasa simpati sama sekali terhadap kondisi rakyat.
Maka jadilah akhir Agustus yang lalu Indonesia, terutama Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan, membara. Massa yang terdiri dari elemen masyarakat kalangan bawah yang merasa suara keprihatinan mereka tidak diperhatikan, bergerak dengan luapan emosi. Bukan hanya ke gedung perwakilan rakyat saja, tapi juga terutama menuju kepada oknum-oknum wakil rakyat yang sebelumnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dalam menyikapi situasi yang berkembang ketika itu. Maka ketika semua saluran untuk penyampaian aspirasi dirasa tertutup ditambah dengan sikap apatis yang ditunjukkan oleh para wakil rakyat yang seharusnya lebih peduli dan mewakili rakyat pemilihnya, satu-satunya yang bakal terjadi saat massa terkumpul dalam jumlah banyak tersebut adalah tindakan menjurus anarkis.
Setidaknya ada beberapa rumah oknum petinggi dan wakil rakyat yang didatangi dan dijarah oleh massa ketika itu. Mulai dari rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio sampai kepada kediaman Menteri Keuangan ketika itu, Sri Mulyani, disatroni massa. Hal ini dapat disaksikan melalui tayangan berbagai saluran media massa, baik resmi ataupun akun-akun pribadi yang banyak terdapat di media seperti YouTube. Bagaimana ganasnya massa merangsek masuk ke setiap rumah tersebut, melampiaskan kekesalan, bukan hanya dengan merampas benda-benda mewah yang banyak ada di dalamnya, tapi juga meninggalkan kerusakan pada bangunan dan benda-benda yang tidak bisa mereka bawa.
Melihat berbagai rekaman visual kejadian kerusuhan tersebut, ada hal menarik yang bisa kita lihat. Tanpa bermaksud untuk menyetujui aksi perampasan dan perusakan rumah para petinggi negara tersebut, tetapi karena kejadian itulah kita dapat melihat bagaimana riilnya kondisi di dalam kediaman mereka. Rumah yang menjadi ruang pribadi mereka, sekaligus sebagai tempat yang menjadi cerminan bagaimana mereka. Seperti yang sudah bisa diduga, kebanyakan isi dari rumah tersebut adalah barang-barang mewah yang bahkan sering di-flexing-kan oleh mereka di akun sosial medianya. Meski perlu dipastikan lebih lanjut, kabarnya di rumah Ahmad Sahroni juga banyak ditemukan barang-barang “aneh” khusus dewasa.
Yang justru disayangkan dari sekilas kita melihat isi kediaman mereka tersebut adalah, hampir tidak ada dari mereka yang memiliki koleksi buku atau perpustakaan pribadi. Kenapa hal ini perlu dikemukakan? Karena mereka-mereka yang menjadi petinggi negara tersebut sekali lagi adalah orang-orang “pilihan” yang menentukan nasib rakyat satu negara melalui keputusan hukum dan perundang-undangan yang mereka hasilkan. Buku adalah lambang kecendekiawanan, pengetahuan serta keluasan wawasan dari orang yang memiliki (dan tentu saja membacanya), sehingga akan sangat berbeda produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh petinggi tipe ini dibandingkan dengan mereka yang justru hanya sibuk dengan hal-hal tidak penting padahal sedang menjabat. Bahkan bukan hanya dalam hal menghasilkan kebijakan itu saja, orang-orang yang cendekia cenderung juga akan tercermin dari cara bersikap dan bertingkah lakunya sehari-hari.
Jika direnungkan kembali, perubahan jaman dengan kemajuan teknologi informasinya sangat memungkinkan untuk seseorang yang hanya bermodal popularitas semata dapat naik menjadi pejabat publik. Apalagi beragam platform sosial media berbasis internet telah dapat menyasar kemana pun penjuru negeri selama ada sambungan sinyal. Parahnya, banyak dari masyarakat kita yang mudah “terpukau” dengan apa yang terlihat di permukaan dan seringkali mengabaikan hal penting yang seringkali tersembunyi di balik layar. Inilah yang kemudian banyak digunakan saat kampanye pemilihan para pejabat publik tersebut, dengan menampilkan imej segemerlap mungkin tidak menyisakan ruang tanya terhadap negativitas yang mungkin mereka miliki.
Demikianlah kerusuhan akhir Agustus kemaren tersebut membuka tabir “kualitas” dari para pejabat publik kita. Dan sebaik-baiknya kita sebagai rakyat kecil, adalah yang dapat belajar untuk tidak kembali jatuh ke lubang yang sama dengan memilih pejabat publik seperti mereka tersebut ke depannya. (*)