Oleh
Farhan Ferdiansyah
Mahasiswa Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unand
Pandemi Covid-19 telah menjadi ujian besar bagi kemanusiaan dan dunia usaha. Ketika wabah itu melumpuhkan sendi-sendi ekonomi global, banyak perusahaan di Indonesia bergulat untuk bertahan hidup. Namun, di tengah krisis itu, muncul satu potret buram yang sulit diabaikan: maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa pesangon. Di balik alasan efisiensi dan penyelamatan keuangan, banyak perusahaan justru menanggalkan sisi kemanusiaan mereka. Fenomena ini tidak sekadar mencerminkan krisis ekonomi, tetapi juga krisis moral dan etika bisnis.
Memang, tidak ada yang menyangkal bahwa pandemi telah memukul hampir semua sektor. Pembatasan sosial, gangguan rantai pasok, serta turunnya daya beli masyarakat membuat banyak perusahaan kehilangan pijakan. Dalam kondisi seperti itu, langkah efisiensi menjadi pilihan logis. Namun, ketika efisiensi berubah menjadi alasan untuk meniadakan hak-hak pekerja, maka nilai keadilan dan tanggung jawab moral telah dikhianati. Karyawan yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan justru menjadi korban pertama ketika krisis datang.
Banyak kisah tragis muncul pada masa itu. Karyawan yang telah mengabdi bertahun-tahun diberhentikan begitu saja tanpa pesangon, bahkan tanpa penjelasan yang layak. Ada yang dipaksa menandatangani surat pemutusan kontrak dengan dalih “keadaan memaksa”, sementara mereka tidak memiliki daya tawar. Dalam situasi semacam ini, pandemi seolah dijadikan tameng untuk menghindari kewajiban moral dan hukum. Padahal, nilai kemanusiaan seharusnya justru dijunjung lebih tinggi ketika krisis menimpa.
Etika bisnis sejatinya menuntut keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab sosial. Bisnis yang beretika tidak hanya mengejar laba, tetapi juga berpegang pada prinsip keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Profit boleh menurun, tetapi empati seharusnya tidak ikut hilang. Perusahaan yang beretika memahami bahwa keberlanjutan bisnis tidak hanya ditentukan oleh modal dan strategi, tetapi juga oleh kepercayaan dan loyalitas karyawan yang merasa dihargai.
Dari sisi ekonomi, langkah PHK memang sering kali dianggap rasional. Perusahaan harus memangkas pengeluaran agar bisa bertahan. Namun rasionalitas ekonomi tidak boleh mengabaikan tanggung jawab sosial. Karyawan bukan sekadar angka dalam laporan keuangan; mereka adalah manusia yang berkontribusi terhadap keberhasilan perusahaan. Ketika mereka diberhentikan tanpa pesangon, perusahaan sesungguhnya sedang menebang akar loyalitas yang telah lama tumbuh. Keputusan yang tampak efisien dalam jangka pendek bisa menjadi bumerang di masa depan karena menurunkan moral dan reputasi.
Dari sisi hukum, pelanggaran terhadap hak pekerja merupakan bentuk penyimpangan serius. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah mengatur secara jelas bahwa pekerja yang di-PHK berhak memperoleh pesangon dan perlakuan yang layak. Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang berlindung di balik alasan “force majeure”. Mereka menafsirkan pandemi sebagai alasan pembenar untuk menghindari kewajiban hukum. Padahal, hukum tidak hanya berbicara tentang sanksi, tetapi juga tentang keadilan substantif. Perusahaan seharusnya mengedepankan dialog, negosiasi, atau mediasi agar keputusan yang diambil tetap menghormati hak-hak pekerja.
Jika dilihat dari perspektif etika, fenomena PHK tanpa pesangon menunjukkan betapa rapuhnya kompas moral dunia bisnis. Prinsip otonomi, keadilan, dan tanggung jawab—yang menjadi dasar etika bisnis—sering kali diabaikan. Dalam banyak kasus, karyawan tidak diberi ruang untuk berpendapat atau menolak keputusan sepihak. Mereka hanya menjadi objek kebijakan yang ditentukan dari ruang rapat para pengambil keputusan yang lebih peduli pada neraca keuangan daripada kesejahteraan manusia.
Padahal, etika bisnis bukanlah konsep yang berhenti di ruang kuliah atau laporan tahunan perusahaan. Ia adalah pedoman moral yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan, terutama di saat krisis. Pandemi mestinya menjadi momentum bagi dunia usaha untuk meneguhkan komitmen kemanusiaan. Perusahaan yang mampu bertahan tanpa kehilangan empati akan selalu dihormati, bahkan ketika kondisi ekonomi memburuk. Sebaliknya, perusahaan yang menafikan nilai-nilai etika hanya akan dikenal sebagai entitas yang kehilangan nurani di tengah bencana.
Krisis memang menuntut keputusan sulit, tetapi bukan berarti meniadakan tanggung jawab moral. Etika justru diuji pada saat keadaan paling genting. Dalam situasi normal, siapapun bisa tampak baik dan patuh. Namun ketika tekanan datang, hanya mereka yang benar-benar berpegang pada nilai moral yang mampu tetap adil dan manusiawi. PHK tanpa pesangon mungkin terlihat sebagai langkah praktis untuk menyelamatkan keuangan perusahaan, tetapi sejatinya ia meninggalkan luka sosial yang dalam. Luka itu bukan hanya bagi para pekerja, tetapi juga bagi reputasi perusahaan yang gagal menjaga nilai kemanusiaan.
Kini, ketika ekonomi mulai pulih, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah dunia bisnis telah belajar dari masa gelap itu? Apakah perusahaan kini lebih siap menempatkan manusia di pusat kebijakan, bukan sekadar objek efisiensi? Jawabannya tergantung pada sejauh mana pelaku usaha memahami bahwa keberlanjutan sejati hanya lahir dari keseimbangan antara profit, etika, dan kemanusiaan.
Kita boleh mengagumi perusahaan yang bertahan secara finansial di masa pandemi. Namun, jauh lebih pantas kita menghormati mereka yang tetap memegang teguh nilai kemanusiaan ketika badai datang. Sebab di ujung krisis, yang tersisa bukan hanya angka di laporan keuangan, melainkan catatan moral: siapa yang bertahan dengan integritas, dan siapa yang kehilangan nurani. Dunia bisnis yang beretika adalah dunia yang menempatkan manusia di atas laba—karena tanpa manusia, laba itu sendiri tak pernah berarti apa-apa. (*)










