Oleh: Buya Mas’oed Abidin (Ulama dan Budayawan Sumbar)
Masa ini Wako Padang, Fadly Amran melakukan gerakan Smart Surau. Mendorong aktif murid murid sekolah untuk mencintai masjid dan rumah ibadah di tempat mereka bermukim. Murid atau siswa tersebut mesti ikut salat berjamaah di masjid masjid tersebut—walau baru dalam rangka subuh berjamaah. Semestinya semua masyarakat Kota Padang berterima kasih dengan adanya program Smart Surau tersebut. Karena bukti nyata selama ini memang terlalu sulit menyuruh anak untuk salat berjamaah di masjid. Apalagi pada waktu Subuh.
Sekarang, setiap ayah bunda terbantu sangat dengan adanya pemantauan dari sekolah yang dikaitkan dengan ruang pendidikan si anak, serta juga ada pemantauan sistim barcode yang menguatkan absensi pendidikan si anak tersebut. Tinggal ayah bunda menekankan agar anak anak mereka tetap teguh dan bertawakal mengikuti program ini.
Agama Islam juga mendorong agar tawakal dengan bekerja dan tidak boros. Tawakal, bukan hanya “menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-apa, “Bertawakallah kamu, seperti burung itu bertawakkal” (Atsar dari Shahabat). Umat pun mesti diajarkan memiliki kesadaran kepada ruang dan waktu. Peredaran bumi, bulan, dan matahari menanamkan kearifan adanya perubahan. Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri. Agar jangan melewati batas dan berlebihan. Artinya, bekerja sepenuh hati dengan mengerahkan semua potensi yang ada.
Di dalam kearifan lokal Minangkabau fungsi masjid disebutkan, “Musajik tampek ba ibadah, tampek balapa ba ma’ana, tampek baraja Al-Qur’an 30 juz, tampek mangaji sah jo batal.” Dalam kehidupan, di surau itu yang dicari sebenarnya adalah bekal ilmu. Menyauk hikmah dan kepandaian-kepandaian untuk mengharungi hidup di dunia yang sekejap dan fana ini. Semuanya itu untuk dalam mempersiapkan hidup di akhirat. Artinya, dari surau atau masjid didapatkan pembinaan untuk menjalin hubungan bermasyarakat yang baik (hablum-minan-naas) dan terjaminya pemeliharaan ibadah dengan Khalik (hablum minallah).
Masjid (surau) menjadi lambang utama terlaksananya hukum. Keberadaannya tidak dapat dipisah dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Manakala sarana masjid telah berperan sempurna, kehidupan masyarakat kelilingnya akan terpuji dan mulia dengan akhlaqul-karimah. Maka, tata ruang yang jelas memberikan posisi peran pengatur. Sebenarnya, masjid atau surau di Sumatera Barat mempunyai sistim pengelolaan (manajemen) sendiri secara transparan. Masjid juga memiliki asset sendiri, wilayah kerja sendiri. Perangkat masjid yang lengkap ditunjang oleh sumber penghasilan sendiri dari jamaahnya yang terikat kuat dengan aturan dan norma sendiri.
Memenej masjid mestinya dititikberatkan pada mengembalikan manhaj Islami dalam makna jemaah dengan kebersamaan (kegotongroyongan). Kembali basurau di tengah perubahan global mestinya dimaknai membangun kekuatan menghidupkan kemandirian sesuai kearifan lokal dan kecerdasan lokal yang menjadi kekayaan di daerah ini. Melalui pengelolaan masjid terbuka peluang besar melakukan penguatan umat di Sumatera Barat dengan lebih mengedepankan wilayah kesepakatan antar berbagai komponen masyarakat dengan spirit kebersamaan, keterpaduan, dan saling memberikan dukungan terhadap tatanan kehidupan.
Perlu dijaga agar pengelolaan masjid terhindar dari pada melewati batas-batas yang patut dan pantas. Mengelola masjid dengan teratur adalah salah satu bentuk persembahan manusia kepada Maha Pencipta. Di samping membuktikan adanya keseimbangan antara kemajuan di bidang rohani dan jasmani. Hasilnya tergantung kepada sikap hidup bertuhan dan bertauhid yang terhunjam dalam jiwa masyarakat melahirkan tingkat kecerdasan yang dapat dicapai.










