Oleh: Ronny P. Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Tulisan “Siklus Pembangunan yang Inklusif” yang dimuat di Harian Haluan beberapa waktu lalu menawarkan optimisme yang patut diapresiasi, terutama karena berangkat dari niat baik untuk menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan. Penulisnya menyodorkan gagasan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia akan menimbulkan efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan.
Gagasannya memang indah, apalagi jika dilihat dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Barat (Sumbar) yang menempati posisi kedua tertinggi di Sumatera. Namun, pandangan semacam ini menyisakan pertanyaan mendasar, apakah betul pembangunan manusia otomatis menghasilkan kemajuan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, ataukah justru terjebak dalam romantisme teoretis yang belum teruji secara empirik di level daerah.
Fakta berbicara lain. Dalam satu dekade terakhir, Sumbar memang konsisten memiliki IPM di atas rata-rata nasional, namun pertumbuhan ekonominya justru cenderung melambat dan tertinggal dari provinsi tetangga. Data BPS menunjukkan, sepanjang 2023 hingga 2025, pertumbuhan ekonomi Sumbar hanya berkisar 4,2 hingga 4,6 persen, jauh di bawah Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan yang mampu menembus kisaran 5 hingga 6 persen.
Bahkan dalam beberapa sektor strategis, seperti industri pengolahan dan investasi asing, kontribusi Sumbar masih sangat kecil dibanding provinsi dengan basis institusi dan infrastruktur yang lebih kuat. Kondisi ini menegaskan bahwa kualitas manusia, tanpa ditopang oleh institusi yang kokoh dan struktur ekonomi yang produktif, tidak otomatis menghasilkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.
Lebih jauh lagi, rendahnya kinerja ekonomi Sumbar tidak bisa dilepaskan dari lemahnya basis struktural pembangunan daerah. Struktur ekonominya masih sangat bergantung pada sektor pertanian tradisional dan perdagangan kecil, sementara sektor industri, logistik, dan teknologi masih minim kontribusi.
Dalam konteks ini, perbaikan kualitas manusia memang penting, tetapi tanpa adanya lapangan kerja yang sepadan, peningkatan kapasitas SDM tersebut justru menjadi tidak produktif. Lulusan perguruan tinggi menumpuk, tetapi industri yang mampu menampung dan mengoptimalkan kemampuan mereka nyaris tidak tumbuh. Ketika struktur ekonomi tidak berubah, maka peningkatan kualitas SDM hanya memperlebar kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan.
 
			









