Ketika Indonesia mengadopsi konsep pembangunan manusia dalam berbagai rencana jangka menengah, termasuk di daerah, sering kali yang terjadi adalah pemaknaan yang terlalu sempit. Indikator keberhasilan diukur dari IPM, angka partisipasi sekolah, dan usia harapan hidup, sementara aspek-aspek kelembagaan, tata kelola ekonomi, dan inovasi publik terpinggirkan.
Padahal, teori pertumbuhan endogen yang dikembangkan Romer dan Barro, misalnya, jelas menyebut bahwa inovasi hanya bisa tumbuh dalam sistem yang memberikan insentif dan jaminan kelembagaan. Dengan kata lain, manusia yang terdidik tidak otomatis menjadi produktif tanpa adanya lingkungan ekonomi yang memberi ruang bagi kreativitas dan investasi.
Kegagalan Sumbar dalam mentransformasikan keunggulan SDM menjadi daya dorong ekonomi adalah bukti nyata dari absennya sinergi kelembagaan dan kebijakan struktural. Lulusan pendidikan tinggi memang banyak, tetapi kesempatan kerja terbatas karena iklim investasi yang belum menarik. Sektor industri masih lemah akibat infrastruktur logistik dan energi yang kurang memadai. Pemerintah daerah sering terjebak dalam program berbasis pelatihan tanpa diikuti dengan strategi pengembangan sektor produktif. Akibatnya, kompetensi yang terbentuk tidak terserap pasar kerja, melainkan menambah panjang daftar pengangguran terdidik. Ini adalah paradoks pembangunan manusia yang kehilangan pijakan strukturalnya.
Lebih ironis lagi, orientasi kebijakan yang terlalu berfokus pada indikator sosial justru berpotensi menimbulkan moral hazard pembangunan. Pemerintah daerah cenderung mengejar angka IPM tanpa memperhatikan kualitas pencapaiannya. Pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan dijalankan secara seremonial, bukan sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ekonomi.
Padahal, di banyak negara, kemajuan indikator sosial justru merupakan hasil dari kemajuan ekonomi yang sehat dan berdaya saing. Di Tiongkok, misalnya, peningkatan kesejahteraan dan pendidikan rakyat terjadi setelah basis industri dan infrastruktur yang kuat terbentuk. Begitu pula dengan Vietnam yang kini menyalip banyak negara berkembang karena memadukan investasi manusia dengan penguatan kapasitas institusi dan infrastruktur.
Selain itu, penekanan berlebihan pada indikator seperti IPM dapat menimbulkan ilusi kemajuan. IPM memang penting, tetapi ia hanya mengukur tiga aspek, yakni pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. IPM tidak mencerminkan dinamika institusional, kualitas investasi, atau daya saing kawasan.










