Sore kemarin, saya terlibat diskusi hebat dengan seorang pejabat. Pejabat yang saya nilai cukup merakyat, karena sering jumpa saat melayat. Entah melayat kerabat dekat atau sahabat yang mangkat.
Ah, dangkal sekali penilaian jika sandaran merakyatnya, cuma soal melayat. Nah Lo, ini bukan soal melayat yang konotasinya agak, gimana gitu? Namun, itulah faktanya.
Ini karena kawan, sahabat dan kerabatnya memang kebetulan banyak yang saya kenal dan cukup akrab. Tapi, disitulah uniknya. Kawan yang sudah jadi pejabat itu, tetap tak berubah sikap dan lakunya. Tetap sederhana dan tak lupa dengan kawan
Ya, kemarin sore itu, kami bertemu tak sengaja di salah satu sudut Kota Padang. Bertemu tak sengaja juga, karena kami memang sedang melayat. Dan, kesempatan itulah kami diskusi santai. Diskusi apa saja dari sini ke sana, dari soal aktivitas sehari-hari, soal kawan, soal ekonomi bahkan merangsek ke soal politik.
Di soal politik inilah diskusi agak keras dan sedikit adu argumentasi terjadi. Ini, berawal dari cara pandang dan sisi tegak kami yang beda. Saya, yang seorang jurnalis, berlatar ilmu Sosiologi ditambah lagi banyak kawan dari segala lapisan masyarakat,. Sedangkan kawan itu juga berlatar Sosiologi dan kebetulan saat ini pejabat struktural di pemerintahan.
Artinya, tegak kami soal politik pasti beda pandang. Si kawan yang pejabat itu memandang dari konsep normatif dan tak mau terlibat soal politik. Sebab, katanya pejabat negara itu tak boleh ikut berpolitik. Apalagi, politik praktis. Yang boleh itu hanyalah melayani, mengayomi dan melaksanakan tugas sesuai aturan, bukan sesuai keinginan.
“Biarlah politik itu milik orang-orang politik saja bung,” tegasnya dengan nada gusar saat saya tanya soal suksesi kepemimpinan hari ini.
Ha..ha..ha, saya tertawa mendengar jawaban itu. Sebab, saya seperti tak mengenal dirinya lagi. Dia yang dulu aktivis dan tajam dalam menganalis suatu persoalan. Kritis dan berapi api. Beda dengan kemarin.
Ya, saya sadar. Itu bukan keinginannya untuk berbeda. Itu, hanya suatu bentuk ketegasannya dalam pilihan.
Kembali soal politik hari ini, saya menanggapinya dengan santai saja. “Jangan baper bung. Santai saja, tak ada salahnya berpolitik. Tapi, tentu dalam konteks politik lain bung. Politik itu Asik, bukan nyelekit. Politik tak mesti berpolitik pilih si anu atau partai itu. Tapi, lihatlah dalam kacamata sosiologi bung. Politik itu cara. Cara bung. Cara kita memandang atau cara mencapai suatu keinginan kita bung. Bukan melulu soal politik yang partai-partai itu bung,” ujar saya dengan santai saja.
Ya, politik itu melekat dalam diri siapa saja. Jika soal kepemimpinan hari ini, berarti dengan cara tak berpihak dan bicara soal politik hari ini, sama saja kawan itu sudah berpolitik.
Berpolitik dalam konteks tak ingin bicara dan menjawab pertanyaan saya itu. Politik itu pilihan. Pilihannya tiga, yakni jawab, tak jawab atau diam. Diam juga dikatakan sikap politik.
Ada satu poin penting yang saya dapat dari kawan itu, bahwa dia teguh pada keyakinan politiknya. Keyakinan untuk diam dan tak mau dianggap berpihak dan dianggap ikut berpolitik praktis.
“Anda hebat kawan, punya sikap loyal pada institusi. Anda punya kredibel dalam mempertahan sikap untuk tak mau mengurus soal politik praktis itu. Kendati saya tahu, anda pasti tahu jawaban politik anda. Namun, anda tak mau umbar kata, walau ke kawan sendiri,” ujar saya salut pada sikapnya.
Memang, sepatutnya sikap teguh pada prinsip pilihan adalah hal yang penting. Bertolak belakang dengan sikap yang peragu dan terlalu banyak gimik. Sebab, sikap banyak gimik atau gaya dibuat-buat, hanyalah sikap para pecundang. Sikap yang tak tahu dengan kemampuan diri sendiri. Termasuk sikap dalam berpolitik.
Maka, berpolitik lah dengan santun, asik dan menyenangkan. Bukan politik yang penuh kebohongan, apalagi berbohong pada diri sendiri. Demikian (*)