Oleh: H. Gamawan Fauzi Dt. Rajo Nan Sati
Saat peringatan hari ulang tahun ke-77 Sumatera Barat 1 Oktober lalu, Bapak H.M. Jusuf Kalla (Pak JK) menyampaikan pidato dalam Sidang Istimewa DPRD.
Saya juga diminta bersama beliau menyampaikan pidato dengan tema yang berbeda. Tapi, berhalangan hadir karena sedang ada urusan di Jakarta.
Saya membaca di media online dan medsos, dalam paparannya Pak JK antara lain menyoroti soal kemunduran sumber daya manusia (SDM) Minangkabau yang tidak lagi seperti dahulu.
Sehingga, hal ini perlu menjadi perhatian bersama agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa.
“Orang Minangkabau keutamaannya adalah berpikir. Mereka bekerja dengan otak tidak dengan otot, dan hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang Minangkabau menjadi tokoh nasional. Namun, saat ini sudah berkurang,” kata JK dalam pidatonya sebagaimana dikutip Republika.co.id. (Sabtu,1/10/2022).
Beliau juga mencontohkan di kalangan ulama, dulu banyak ulama hebat dari tanah Minang. Tapi, kini yang terkenal adalah ulama seperti Das’ at Latif atau Ustad Maulana atau Quraisy Sihab. Tidak ada lagi yang dari Sumatera Barat.
Sebenarnya ungkapan kerisauan rang sumando awak yang mantan Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019 itu bukanlah yang pertama.
Beberapa tahun lalu, hal yang sama juga sudah pernah beliau sampaikan. Tapi, saat itu beliau tidak menyebut ulama Das’ at Latif atau Ustad Maulana atau Quraisy Sihab.
Beberapa hari setelah pidato Pak JK dalam HUT ke-77 Sumbar itu, saya tidak melihat reaksi atau tanggapan dari masyarakat Minang, baik di rantau atau di ranah.
Beberapa hari setelah beliau berpidato tak ada lagi komentar apalagi reaksi untuk menyikapinya.
Beberapa waktu lalu, mantan Presiden ke-5 RI Ibu Megawati juga menyorot Minangkabau yang kehilangan tokoh sekelas tokoh tokoh pendiri Republik ini dulunya. Beliau juga menyorot hilangnya (nilai-nilai) gotong royong dan musyawarah di nagari di Sumatera Barat.
Menyimak dua pandangan tokoh nasional tersebut, bila ingin membela diri tentu bisa di jelaskan dengan berbagai argumentasi.
Misalnya soal ulama dan da’i. Itu dua hal yang berbeda. Ustad Das’at Latif dan Ustad Maulana adalah dua dai yang populer di televisi dan di medsos.
Tapi apakah kedua beliau ulama? Belum tentu.
Ustad Das’at latif bukanlah doktor bidang agama, beliau sekolah komunikasi dan mungkin mengetahui ilmu agama walau tak sebanyak ratusan putra Minang yang tamat Al Azhar Kairo atau IAIN yang sekarang beralih status menjadi UIN.
Tapi kedua ustad tersebut yang disebut Pak JK itu memang aktual, populer, kajinya sederhana, mudah dicerna dan itu disukai pemirsa model sekarang.
“Jamaaaaah…! Kata Ustad Maulana.
Terlepas dari itu dan untuk apa pula membela diri? Maka saatnya bagi masyarakat Minang di ranah dan rantau untuk memikirkan bersama bagaimana merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi semua hal yang terkait dengan usaha memajukan sumber daya manusia Sumatera Barat secara berkelajutan.
Persoala ini sebenarnya bukanlah masalah baru. Ini sudah menjadi isu tahunan, sejak saisuak atau berpuluh tahun yang lalu.
Namun, kalau kita perhatikan secara cermat, sebenarnya tak pernah surut niat dan usaha para keluarga di Minangkabau untuk menyekolahkan anak anaknya setinggi mungkin, baik di bidang agama maupun di bidang ilmu umum.
Tak sedikit intelektual Minang berkiprah dalam berbagai profesi, baik yang lahir di luar Sumatera Barat maupun di Sumatera Barat sendiri.
Tapi, khususnya putra Minang yang lahir dan besar di rantau, kadang tak diketahui bahwa dia berasal dari Ranah Minang. Minggu lalu, masjid Buncit Indah tempat kami menjadi jemaahnya mengundang Dr. Adi Warman yang terkenal itu. Sebelumnya saya tak tahu beliau berasal dari mana.
Tapi, waktu ketemu saya di masjid itu, beliau langsung bertanya, “Baa kaba Pak?” Saya terkejut, lalu bertanya, “Ustad dari mana?” Dalam bahasa awak lalu beliau menjelaskan, “Urang gaek ambo namonyo Azwar Karim, dari Jao Padang Panjang.”
“Oh.., beliau pengacara ya,” kata saya.
“Kok Bapak tau?” Tanya beliu. “Saya pernah mendengarnya,” jawab saya.
Sebelumnya, waktu Lebaran Haji lalu, yang berkhotbah di mesjid yang sama adalah Dr. Azmi, mubaligh tamatan Sudan.
Saat ketemu saya, beliau langsung bersalam dan memeluk saya, lalu bercerita banyak hal. Rupanya beliau orang Padang dan punya isteri orang Sudan.
“Sakali-sakali ambo lai pulang juo,” kata ahli ekonomi syariah yang kini keahliannya dipakai oleh sebuah bank syariah nasional itu.
Dari dua pengalaman kecil itu, menurut pandangan saya, kita tak perlu khawatir tentang semangat keluarga-keluarga Minang untuk menyekolahkan anaknya setinggi tingginya dan kemudian secara pribadi sukses dalam berbagai profesi.
Pertanyaan saya adalah, adakah peran pemerintah daerah dan DPRD serta organisasi- organisasi Masyarakat Minang yang semakin hari semakin banyak itu untuk memberikan dorongan atau stimulus bagi kemajuan putra putri Minang secara berkelanjutan?
Kakek-nenek kita dulu luar biasa hebatnya. Merekalah yang melahirka Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Muhammad Yamin, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Mr. Asaat, Buya Hamka, Sutan Mohamad Rasyid, Imam Bonjol, Inyaiak Canduang, Inyiak Parabek, Inyiak Jao, Rahmah El-Yunusiah, Rasuna Said, dan Prof. Dr. Zakiah Darajat (doktor wanita pertama Indonesia tamatan Mesir). Atau para sastrawan dan budayawan besar seperti Marah Rusli, Chairil Anwar, Usmar Ismail, Asrul Sani, Rosihan Anwar, dan lain-lain.
Juga para pengusaha besar seperti Rahman Tamin, Hasyim Ning, Abdul Latief, hingga generasi Santi Soedarpo dan Nurhayati Subakat yang merupakan produsen kosmetik halal terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Banyak lagi tokoh lainnya yang tak mungkin disebutkan satu persatu karena demikian banyaknya orang orang hebat dari generas ke generasi dari ranah Minang yang permai dari dulu hingga kini.
Sebagian besar mereka bahkan sudah lahir dan eksis ketika belum ada Pemerintah Daerah, DPRD atau perguruan tinggi di Sumbar.
Semua tokoh dan orang-orang hebat itu, dari dulu hingga kini, mudah mudahan nanti akan kita jumpai nama dan siapa mereka dalam buku “1001 Tokoh Minang” yang saya dengar sekarang sedang disusun oleh sebuah tim yang dipimpin oleh wartawan senior, penulis dan pemerhati sejarah Hasril Chaniago.
Lalu, jika kini Sumatera Barat/Minangkabau dianggap makin sedikit melahirkan ulama dan tokoh hebat masional, sebaiknya kita tak perlu membela diri.
Tetapi, perlu menjadi renungan bagi kita semua, apakah masyarakat Minang kini tak sehebat kakek-nenek kita yang minim sekolah tapi punya pandangan dan visi jauh ke depan melampaui kita yang hidup sekarang dan berpendidikan?
Tentu tak elok jika kita hanya menyebut- nyebut kehebatan tokoh masa lalu yang kita tak sedikitpun berjasa atasnya, tetapi kita lalai memikirkan putra-putri masa depan Minang yang hebat pula sebagai legasi kita untuk Minang mendatang.
Kehebatan masa depan itu tentu bisa makin dapat diraih bila kehadiran Pemerintah daerah ikut mendorongnya.
Biarlah politik berjalan dengan nafasnya sendiri, tapi atas nama negeri yang “samalu sahino”, atau atas nama “malu yang tak bisa dibagi”, bersatu jugalah kita demi kemajuan dan kebaikan masyarakat, daerah dan ranah yang kita cintai ini. (*)