Dalam sebuah percakapan ringan dengan kawan yang lama tak jumpa, waktu seakan balik ke masa 28 tahun silam. Ya, saat masih berada di bangku SMP dan transisi ke SMA. Betapa tidak, kami terpisah oleh waktu lebih dari seperempat abad.
Sekarang, si kawan sudah sukses di Jakarta, mengabdi untuk bangsa Indonesia sebagai pendekar hukum dan pembasmi korupsi.
Oya, kami tidak berdua. Tapi, ada beberapa kawan lagi yang sengaja dipanggil. Satu kawan lagi ada yang berprofesi sebagai polisi dan sekarang berpangkat kompol. Satu lagi birokrat di Kemenkeu RI. Yang lainnya, ada pengusaha kakap otomotif di Sumbar dan pejabat karier di salah satu BUMN.
Ya, semuanya sukses dan hebat. Saya bangga. Hanya itu yang saya punya, kebanggaan pada kawan-kawan yang semuanya telah sukses di bidangnya masing-masing.
Tapi tunggu dulu, dalam kumpul–kumpul. itu ada juga dua orang kawan yang menurut ukurannya sukses. Sukses yang sungguh relatif. Kawan yang berprofesi sebagai tukang ojek di kawasan Pasar Raya Padang, dan satunya lagi kawan yang tukang parkir di kawasan yang sama.
“Alhamdullillah, ambo punya anak 4 ndan, sehat sadonyo,” ujar kawan yang berprofesi sebagai tukang ojek itu.
Nada bicaranya sangat tegas, dan tak sedikitpun memancarkan kesedihan. Dia bahagia, sehat dan tak kurang satu apapun. Itulah poinnya, sukses tergantung individu itu merasakannya.
Kami kumpul dan berbicara lepas di salah satu kedai kopi di bilangan GOR Agus Salim. Gerimis hujan menjadi musik tersendiri menemani bincang kami. Bincang lepas mengenang masa-masa kejayaan kami. Masa yang begitu indah, terajut kekal di kenangan kami. Ya, kami adalah sahabat yang tak memandang perbedaan. Kami memiliki sifat yang saling berbeda. Perbedaan yang akhirnya menjadi kekuatan kami untuk menatap masa depan.
Saya masih ingat, pertemuan kami saat itu sering dilakukan di sebuah rumah sederhana di bekas Masjid Raya Sumatra Barat. Dulu, memang kawasan itu adalah kawasan SPP (SPMA) Padang. Secara tak langsung, di sanalah tempat penanaman nilai-nilai persahabatan. Penanaman nilai-nilai pantang menyerah dan nilai petarung. Petarung dalam arti sesungguhnya dan petarung dalam arti kiasan.
Malam itu, kami membuka lembaran lama, saat sang pengusaha otomotif kita loloskan menjadi Ketua OSIS. Padahal, saat itu lawan sungguh kuat. Namun, itu tak alasan. Jiwa petarung kami akhirnya mengantarkan dia menjadi orang nomor satu di SMA saat itu. Banyak intrik dan cara kita lakukan untuk memuluskannya menduduki kursi bos di SMA.
Namun, tentunya kami terlebih dahulu menyatukan visi dan target jangka pendek jika tercapai. Kami, tak ingin pertarungan kami sia-sia. Pertarungan yang hanya mengantarkan si bos untuk duduk dan malah mengantarkan organisasi ke jurang kehancuran. Komitmen itu kuncinya.
Entah kenapa, sejalan dengan mulai menyucuknya dingin malam, perbincangan mulai mengarak ke kinian. Termasuk soal politik. Nah, dalam konteks ini, saya lah yang kena hajar oleh kawan-kawan. Betapa tidak, mereka menganggap saya lebih tahu dengan kondisi perpolitikan Sumbar.
Ah, saya kalau sudah bicara politik, agak semangat. Ini karena, tak berapa lama lagi pesta politik di Indonesia akan dihelat. Tahun 2024, ini akan serentak pun di Sumatra Barat dan seluruh kabupaten kota lainnya. Pemilihan yang tak hanya memilih legislator baik DPD, DPR, DPRD Sumbar dan DPRD kabupaten kota, tetapi juga pemilihan Presiden. Selang beberapa bulan setelahnya, Pilkada serentak pun dilakukan.
Dan, ini Tahun 2022 sudah bulan Oktober. Beberapa partai besar sudah memanaskan mesin politiknya. Sejumlah tokoh-tokoh politik lokal pun bermunculan saling tebar pesona. Mulai menjajaki popularitas dan mengejar elektabilitas. Dan, itu wajar.
Untuk Pilpres sejumlah nama sudah mulai muncul digadang gadang kan akan mampu menarik hati partai besar, ada sejumlah nama seperti Prabowo Subianto yang masih memiliki popuritas dan kemampuan finansial dan partai yang mumpuni. Prabowo adalah patriot dan masih berpeluang besar. Selain itu, ada nama Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Cak Imin atau Muhaimin Iskandar, dan sejumlah nama lainnya.
Ditingkat lokal, Pilgub Sumbar juga diprediksi akan menarik, kendati nama Mahyeldi Asharullah dianggap masih kuat melanggeng sekali lagi, namun ada Mulyadi yang saat ini Ketua Demokrat Sumbar siap menatap Pilgub mendatang. Dan, Wagub Sumbar Audy Joinaldy juga diperkirakan akan maju untuk konstalasi Pilgub mendatang. Namun Gerindra yang saat ini terus bergerak masif ke tengah konstituennya diprediksi akan mendorong Andre Rosiade untuk menuju Kursi 1 Sumbar.
Pun hal yang sama untuk Kota Padang, pilwako mendatang dipastikan akan membara dan panas. Ini dikarenakan, Padang adalah etalase Sumatra Barat, posisi wali kota adalah strategis dan akan diperebutkan oleh putra terbaik Padang. Hanya saja, sejumlah nama masih malu-malu untuk mendeklarasikan akan maju bertarung di pilwako nanti.
Menyingkapi paparan saya yang berapi api, kawan yang tukang ojek itupun menimpuki. “Ndak ado ciek alahe do ndan, wak dukung mereka, beko nyo duduak, nyo lupo do awak. Heheh,” ujar si kawan.
Senada dengan itu si tukang parkir berseloroh, “Apak-apak tu ndak kenal do awak do ndan, hehhe,” celutuknya.
Lain halnya dengan kawan yang birokrat. Baginya, siapapun pemimpin yang akan dipilih tentunya harus yang pro rakyat dan ngerti dengan birokrasi simple. “Jan hanyo pro rakyat di muluik sajo, tapi harus do tindakan. Tantunyo, itu bisa diliek dari visi misi mereka,” ujarnya sok paten.
Tampaknya, kawan nan polisi juga tak mau diam, Diapun menimpali. “Sia se nan ka jadi jadilah. Nan pantiang, inyo bisa mengayomi dan membuek nagariko aman dan bisa sinerji do berbagai pihak,” ujarnya.
Statmen berbeda dilontarkan kawan lainnya. Bahwa, baginya Sumatra Barat itu, butuh pemimpin petarung. Pemimpin yang gigih memperjuangkan nasib rakyatnya, nasib daerahnya dan memperjuangan hak daerahnya. Pemimpin petarung inilah yang dibutuhkan Sumatra Barat untuk bisa bangkit. Bangkit dan mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia.
Menurutnya, dulu Sumbar itu dikenal dengan istilah “Industri Otak”. Kini, otak-otak itu sudah tak tahu dimana otak-otak itu bersembunyi. “Dulu, para intelektual idealis, seperti Tan Malaka, Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Hamka, dan sederetan nama besar lain, lahir di sini. Namun, kini tak ada lagi. Seakan rahim bumi Minang tidak mampu lagi melahirkan sosok-sosok idola itu di era kemerdekaan.
Sisa-sisa otak besar Minangkabau sekarang lebih memilih profesi, seperti dokter, pengusaha, pejabat negara dari pada menjadi pemikir-pejuang-petarung. Ungkapan “alam terkembang jadi guru” sudah kehilangan daya tariknya di alam kemerdekaan bangsa,” ujar kawan itu mengaku mengutip pernyataan Buya Syafii Maarif yang pernah terbit di Republika.
Ya, bagi kawan itu. Sumbar membutuhkan pemimpin yang petarung. Pemimpin yang mengerti maunya Sumatra Barat, yang mampu membuhul tali antara ranah dan rantau. Dua kekuatan yang sudah sejak dulu menjadi ikonnya Minangkabau. “Jikalau itu terbuhul kuat, Sumatra Barat Insyaallah akan bangkit lagi. Ya, kita butuh pemimpin petarung,” tegasnya.
Bedahalnya dengan kawan pengusaha. Menurutnya, siapapun yang menjadi diharapkan akan mampu menggairahkan dunia usaha. Menggairahkan ekonomi daerah, investasi lancar dan perekonomian tumbuh. “Iko hanyo bisa dilakukan pemimpi yang hebat. Pemimpin yang ngarati mau rakyatnyo dan punyo jejaring kuaik,” ujar kawan itu.
Ya, memang pembicaraan soal politik nasional dan Sumbar itu alot. Banyak komentar dan harapan. Harapan tertumpang kepada para calon pemimpin Sumatra Barat. Jadi, semua itu tergantung pada kepiawaian si calon dalam memainkan politiknya dan mengambil hati masyarakat.
Akhirnya, adzan Subuh jua yang melerai kami. Kami bubar dengan perasaan senang dan gundah. Senang karena bisa bertemu kawan lama, gundah dengan akhir perbincangan yang menghangat. Ya, perbincangan soal politik. Perbincangan lepas dan didasari berbagai kepentingan dan perspektif. Namun, hanya satu yang bisa saya ambil makrifatnya, yakni pemimpin petarung. Ya, Sumbar butuh pemimpin petarung. (*)
Oleh: Revdi Iwan Syahputra