Pemilu Malaysia Awal November, Bagaimana Peluang Anwar Ibrahim?

OLEH: HASRIL CHANIAGO & ZULKAFLY BAHARUDDIN

Oleh Hasril Chaniago & Zulkafly Baharuddin

Berbeda dengan pemilu di Indonesia yang tahapannya berlangsung lebih satu tahun, Malaysia dapat melaksanakan pemilu dalam waktu satu bulan sejak parlemen dibubarkan. Di sisi lain, pemilu Malaysia tidak mesti serentak seperti di negeri kita. Pemerintah di negara bagian (kerajaan negeri) bisa menunda pemilu tidak sama dengan pemilu nasional.

Pertama kali pemilu Malaysia diikuti empat koalisi besar. Apakah pemilu kali ini akan mengantarkan Dato’ Seri Anwar Ibrahim menjadi Perdana Menteri ke-10 Malaysia?

***

Teka-teki mengenai Pemilihan Umum ke-15 (Pilihan Raya Umum/PRU15) Malaysia telah terjawab dengan dibubarkannya Parlemen Malaysia hasil Pemilu ke-14 tahun 2018 oleh Perdana Menteri Datok Seri Ismail Sabri Yaakob pada hari Senin 10 Oktober 2022 lalu. PM Ismail Sabri mengumumkan pembubaran Parlemen setelah mendapat persetujuan dari Yang di-Pertuan Agong Malaysia Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah sehari sebelumnya.

Sepekan belakangan, kepastian mengenai Pemilu ke-15 masih menjadi tanda tanya apakah diadakan tahun ini atau tahun 2023. Di saat Presiden UMNO dan Ketua Barisan Nasional (BN) terus mendesak agar PM Ismail Sabri secepatnya membubarkan parlemen, 12 menteri dari Perikatan Nasional (PN) –bagian dari pemerintahan BN yang berkuasa– mengirim surat kepada Yang di-Pertuan Agong yang meminta agar Pemilu diadakan tahun depan. Penolakan pemilu diadakan akhir tahun ini juga datang dari kelompok oposisi Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Datok Seri Anwar Ibrahim.

Pihak yang menolak pemilu akhir tahun ini beralasan bahwa mulai pertengahan November hingga Maret 2023 adalah musim penghujan yang akan menyebabkan banyak negeri di Malaysia dilanda banjir sehingga menghalangi para pemilih mendatangi tempat pemungutan suara. Alasan tersebut masuk akal mengingat Badan Meteorologi Malaysia (MetMalaysia) telah mengingatkan akan musim Monsun Timur Laut yang akan menyebabkan banjir di sejumlah daerah di Semenanjung Malaysia maupun di Sabah dan Serawak mulai pertengahan bulan depan.

Penolakan dari pihak oposisi dan adanya ancaman banjir, semula diperkirakan akan menjadi alasan bagi Yang di-Pertuan Agong akan menolak permintaan PM Ismail Sabri untuk membubarkan parlemen. Namun pada kenyataannya, Yang di-Pertuan Agong dalam pertemuan dengan PM Ismail Sabri hari Minggu siang telah memberikan persetujuan bagi pembubaran parlemen, sehingga Pemilu ke-15 dapat diadakan awal bulan depan sebelum musim banjir datang.

Dalam keterangan resmi Istana Negara hari Senin (10/10/22), menyatakan bahwa Yang di-Pertuan Agong telah mengemukakan rasa kecewanya atas keadaan politik saat ini, oleh karena itu Baginda tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan Perdana Menteri bagi mengembalikan mandat kepada rakyat untuk memilih pemerintahan baru.

Baginda bahkan berharap, agar Suruhanjaya Pilihan Raya (Badan Penyelenggara Pemilu) dapat melaksanakan Pemilu ke-15 dalam waktu secepatnya dengan perkiraan Monsun Timur Laut akan bermula pertengahan November.

Pernyataan Istana ini mengandung arti bahwa Pemilu ke-15 harus dilaksanakan pada awal November depan. Di sisi lain, rasa kecewa Raja Malaysia nampak ditujukan kepada perpecahan di tubuh pemerintahan sendiri, di mana 12 menteri dalam kabinet yang dipimpin PM Ismail Sabri justru bertindak di luar kemauan koordinasi PM.

Sumber-sumber Haluan mengungkapkan, bahwa guna menetapkan jadwal pelaksanaan pemilu ke-15, pihak SPR sudah membuat langkah persiapan segera setelah parlemen dibubarkan. Setia Usaha SPR Datuk Ikmalrudin Ishak sebagaimana dikutip MalaysiaKini kemarin, SPR akan mengadakan pertemuan untuk menetapkan jadwal pemilu 20 Oktober depan. Sumber yang dekat dengan pemerintahan dan SPR mengungkapkan, jadwal itu akan disusun dengan tahapan penetapan calon anggota parlemen, daftar pemilih, masa kampanye, dan pemungutan suara sebelum pertengahan November, di mana penetapan calon yang akan bertanding diperkirakan sudah ada pada 22 Oktober.

Berbeda dengan PRU14 tahun 2018, pemungutan suara untuk seluruh Malaysia dalam PRU 15 hanya akan dilakukan untuk memilih 222 anggota parlemen nasional (Dewan Rakyat), sementara pemilihan anggota Dewan Undang Negeri (DUN, semacam DPRD di Indonesia) hanya akan dilakukan di tiga negeri yang dikuasai BN, yaitu Perak, Perlis, dan Pahang. Sedangkan Melaka, Johor, Sabah dan Serawak sudah lebih dulu melaksanakan pemilihan di peringkat negeri.

Tiga negeri yang dikuasai oleh Pakatan Harapan, yaitu  Selangor, Pulau Pinang, dan Negeri Sembilan, sudah menyatakan tidak akan membubarkan DUN sehingga tidak akan diadakan PRU ke-15. Pernyataan yang sama juga telah disampaikan oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), di mana tiga negeri yang berada di bawah kekuasaan PAS, yaitu Kelantan, Trengganu dan Kedah, juga tidak akan membubarkan DUN dan menunda pemilihan di peringkat negeri hingga tahun depan.

Peluang Anwar Ibrahim Jadi PM ke-10

Berbeda dengan Pemilu ke-18 di mana partai peserta hanya terbagi dalam dua koalisi besar, yaitu Barisan Nasional (BN) yang dipimpin UMNO dan Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Mahathir Mohamad (karena waktu itu Anwar Ibrahim masih di penjara), maka pada Pemilu ke-15 bulan akan bertarung setidaknya empat kelompok partai. Selain BN dan PH (PKR, DAP dan Amanah), juga ada koalisi Perikatan Nasional (PN, gabungan Bersatu dan PAS dan beberapa partai kecl), serta koalisi baru Gerakan Tanah Air (GTA) yang terdiri dari yang kini digalang Tun Matathir terdiri antara lain Partai Pejuang, Berjasa, Putra, dan Iman.  Dengan terpecahnya kekuatan politik ke dalam empat koalisi, maka diperkirakan tidak ada kelompok yang akan meraih kursi mayoritas (112 dari 222 anggota Parlemen) untuk bisa membentuk pemerintahan secara sendirian. Pertarungan paling ketat diperkirakan akan terjadi antara BN pimpinan Ahmad Zahid Hamidi dengan PH pimpinan Anwar Ibrahim yang terakhir menjadi ketua pembangkang (oposisi) dalam parlemen yang sudah dibubarkan.

Pemenang juga akan ditentukan oleh calon perdana menteri yang akan dikampanyekan oleh masing-masing kekuatan. Meskipun UMNO kini merasa berasa di atas angin setelah kemenangan telak dalam pemilu peringkat negeri di Johor dan Melaka beberapa bulan lalu, namun figur Zahid Hamidi sebagai kemungkinan calon PM dari UMNO akan mudah dikalahkan Anwar yang lebih kharismatik. Calon PM lain yang diperkirakan dusul PN adalah Muhyiddin Yasin, bekas PM yang digantikan Ismail Sabri. Sementara Ismail Sabri sendiri kecil kemungkinan akan dicalonkan oleh UMNO karena ia bukan presiden partai.

Namun karena diperkirakan tidak ada partai atau koalisi yang dapat meraih kursi mayoritas, faktor keberadaan GTA pimpinan Mahhir juga sedikit banyak ikut menjadi penentu. Walaupun diperkirakan tidak akan menang, namun seberapapun kursi yang diraih akan turut menentukan koalisi untuk membentuk pemerintahan. Yang jelas, Mahathir telah mengatakan, bisa bersekutu dengan pertai atau koalisi manapun kecuali dengan BN. Artinya, Mahathir bisa saja membayar hutang janjinya kepada Anwar Ibrahim selepas PRU-14 yang lalu untuk menyerahkan jabatan PM kepada mantan seteru sekaligus bekas sekutunya itu.

Bagaimana dengan PN (Bersatu dan PAS) yang dikomandoi mantan PM Muhyiddin Yasin? Sementara ini masih agak sulit menduga arah pilihannya. Mereka bisa saja bergabung dengan UMNO, tetapi faktor persengketaan dalam pembubaran parlemen baru lalu bisa menjadi faktor psikologis yang menghambat. UMNO dan BN sendiri pernah membuka diri bekerjasama dengan PAS, tapi dengan syarat PAS keluar dari PN dan tidak lagi bersekutu dengan Bersatu yang dipimpin Muhyiddin.

Apakah mungkin PN akan bergabung dengan PH? Perkembangan politik di negara tetangga ini masih cair, dan sangat menarik untuk terus kita ikuti dalam pekan-pekan ke depan. (*)

Exit mobile version