Kecurigaan publik ini bukan tanpa alasan. Alasan mereka menilai kebijakan Kemenkominfo itu hanya berupaya untuk mendengungkan sisi baiknya saja dari RKUHP atau tidak apa adanya.
Artinya, dalam publikasi yang baik, sudah selayaknya Kemenkominfo juga memegang prinsip “cover both side”. Artinya, pemerintah pusat dituntut mencontohkannya mulai dari proses mendapatkan berita atau informasi dan memproduksi berita atau informasi, serta menyebarkannya berdasarkan keseimbangan informasi. Mengingat dari keseimbangan informasi, keadilan informasi yang secara konsisten bisa dicapai peningkatan trust publik pada pemerintah pusat.
Sebenarnya tidak ada masalah jika pemerintah menggunakan jasa orang-orang tersohor di media sosial untuk mempromosikan RKUHP, selama dalam publikasinya memegang prinsip keseimbangan informasi publik dan tidak membebani anggaran belanja negara. Karena pembiayaan untuk influencer tentunya tidak murah. Wajar saja Lembaga swadaya masyarakat, Indonesia Corruption Watch (ICW), menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang Tahun 2014 sampai 2019. Publik pun menilainya sebagai pemborosan yang efektif.
Alangkah baiknya dengan anggaran sebanyak itu, pemerintah mengoptimalisasi program pemberdayaan praktisi humas pemerintah ataupun pranata humasnya baik kualitas dan kuantitasnya secara organik. Pemerintah harus menjaga suara publik termasuk influencer, agar tetap bebas berpendapat secara kritis dan sukarela, tanpa pemerintah membeli mahal idealisme cerdas influencer untuk menjadi corong pemerintah.
Sebab bagaimana mungkin influencer bayaran pemerintah bisa bersuara secara objektif atau berimbang sesuai prinsip cover both side, bila idealismenya selalu dibeli oleh pemerintah? Dana yang berasal dari masyarakat selayaknya dialokasikan pemerintah untuk pelayanan informasi publik yang berimbang dan transparan secara bertanggung jawab.
Sayangnya, Usman selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo menolak membeberkan jumlah anggaran khusus yang digelontorkan pemerintah untuk kampanye RKUHP. Padahal diakuinya jumlah anggaran itu sudah disetujui oleh DPR RI dan disebutkannya bahwa dirinya dibantu oleh pihak yang membantu menggaet influencer (Badan Siberkreasi Kominfo). Hal ini tentu saja membuahkan tanda tanya besar: “Mengapa praktek transparansi dan akuntabilitas publik tidak dicontohkan dalam kasus ini secara bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan informasi publik?”.