Pelayanan informasi publik ini sendiri menjadi krusial dan relevan dijadikan orientasi utama pemerintah, bila dikorelasikan dengan teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh John Locke, Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat (P.N.H Simanjuntak. Pendidikan Kewarganegaraan. Grasindo. hlm. 151).
Bahkan lebih dari itu, kedaulatan tuhan pun sudah selayaknya diposisikan di atas kedaulatan rakyat, mengingat RKUHP sebagai produk hukum dari sekumpulan asumsi manusia tidak akan mungkin bisa menandingi Hukum Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan dengan ilmu Allah. Sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
”Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al–Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (QS Al-Israa’ [17] :88).
”Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu’. Katakanlah, ‘Maka datangkanlah 10 surat seumpamanya dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu itu, maka ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Rabb selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (diatur dengan hukumNya)?” (QS Huud [11]:13-14).
Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah lebih banyak mendengarkan aspirasi masyarakat yang berbasis referensi ketuhanan yang Maha Esa dan kritik masyarakat yang bersifat konstruktif ilmiah terkait RKHUP. Mengingat produk hukum hasil rekayasa manusia itu cenderung memiliki keterbatasan dan kelemahan dan tidak sebanding dengan Kitab Allah bernilai Hukum Allah tentang keteladanan kenabian.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu juga seolah memaksakan RKHUP harus diterima dengan cara mengerahkan influencer bayaran secara boros yang justru dapat menimbulkan berbagai spekulasi publik.