Pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 ini, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsi utamanya, yaitu merumuskan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi. Tentunya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya tersebut, tidak seharusnya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional.
Namun dalam prakteknya, Kemenkominfo RI tidak luput dari kelebihan dan kekurangan. “Salah satu kelebihannya adalah mampu mengantarkan Indonesia untuk menempati peringkat 3 dari 103 negara sebagai negara dengan platform edukasi digital terbesar di dunia dalam Global Skills Report 2022 berdasarkan survei Coursera,” jelas Johnny dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/6/2022).
Atas pencapaian tersebut, pihaknya berkomitmen untuk terus mendorong pengembangan SDM atau talenta digital nasional di level kecakapan digital tingkat dasar, menengah, serta tingkat lanjut. Johnny berinisiatif untuk memfasilitasi pelatihan data science kepada 50.000 peserta setiap tahunnya melalui kerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi nasional dan global.
Dengan prestasi tersebut, menjadi wajar bila warganet di Indonesia semakin lama pun semakin cerdas dalam menilai kebijakan publik. Bahkan tak terkecuali netizen semakin cerdas dalam menilai dan mengkritisi kebijakan publik yang diterapkan oleh kemenkominfo sendiri. Tentu ini bukan dimaknai sebagai “senjata makan tuan”, tapi lebih tepat bila dimaknai “Kemenkominfo selalu butuh kritik dan saran”.
Kebijakan Kemenkominfo yang menuai polemik dan menuai kritik publik, Pada akhirnya Kemenkominfo sendiri patut berterima kasih pada publik yang masih memperhatikan dan menyayangi pemerintah.
Salah satu kebijakan Menkominfo dalam mengorganisir influencer bayaran terkait RKUHP belakangan ini telah menuai polemik. Hal ini karena publik menduga kehadiran influencer yang direkrut pemerintah hanya bertujuan untuk meredam kritik terhadap RKUHP yang baru saja disahkan. Publik menilai kampanye RKUHP sejak Agustus 2022 yang menggunakan influencer sangat berlebihan.
Kecurigaan publik ini bukan tanpa alasan. Alasan mereka menilai kebijakan Kemenkominfo itu hanya berupaya untuk mendengungkan sisi baiknya saja dari RKUHP atau tidak apa adanya.
Artinya, dalam publikasi yang baik, sudah selayaknya Kemenkominfo juga memegang prinsip “cover both side”. Artinya, pemerintah pusat dituntut mencontohkannya mulai dari proses mendapatkan berita atau informasi dan memproduksi berita atau informasi, serta menyebarkannya berdasarkan keseimbangan informasi. Mengingat dari keseimbangan informasi, keadilan informasi yang secara konsisten bisa dicapai peningkatan trust publik pada pemerintah pusat.
Sebenarnya tidak ada masalah jika pemerintah menggunakan jasa orang-orang tersohor di media sosial untuk mempromosikan RKUHP, selama dalam publikasinya memegang prinsip keseimbangan informasi publik dan tidak membebani anggaran belanja negara. Karena pembiayaan untuk influencer tentunya tidak murah. Wajar saja Lembaga swadaya masyarakat, Indonesia Corruption Watch (ICW), menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang Tahun 2014 sampai 2019. Publik pun menilainya sebagai pemborosan yang efektif.
Alangkah baiknya dengan anggaran sebanyak itu, pemerintah mengoptimalisasi program pemberdayaan praktisi humas pemerintah ataupun pranata humasnya baik kualitas dan kuantitasnya secara organik. Pemerintah harus menjaga suara publik termasuk influencer, agar tetap bebas berpendapat secara kritis dan sukarela, tanpa pemerintah membeli mahal idealisme cerdas influencer untuk menjadi corong pemerintah.
Sebab bagaimana mungkin influencer bayaran pemerintah bisa bersuara secara objektif atau berimbang sesuai prinsip cover both side, bila idealismenya selalu dibeli oleh pemerintah? Dana yang berasal dari masyarakat selayaknya dialokasikan pemerintah untuk pelayanan informasi publik yang berimbang dan transparan secara bertanggung jawab.
Sayangnya, Usman selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo menolak membeberkan jumlah anggaran khusus yang digelontorkan pemerintah untuk kampanye RKUHP. Padahal diakuinya jumlah anggaran itu sudah disetujui oleh DPR RI dan disebutkannya bahwa dirinya dibantu oleh pihak yang membantu menggaet influencer (Badan Siberkreasi Kominfo). Hal ini tentu saja membuahkan tanda tanya besar: “Mengapa praktek transparansi dan akuntabilitas publik tidak dicontohkan dalam kasus ini secara bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan informasi publik?”.
Tidakkah Kemenkominfo mengetahui bahwa tujuan informasi publik menurut UU 14 Tahun 2008 adalah tentang keterbukaan informasi publik juga mencakup hal-hal sebagai berikut?:
a. Menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik, dan alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. Menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;
d. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel, serta bisa dipertanggungjawabkan;
e. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
g. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik supaya menghasilkan layanan informasi berkualitas.
Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan informasi publik, khususnya terkait anggaran yang dibelanjakan untuk pembiayaan jasa influencer, sudah selayaknya dicontohkan oleh Kemenkominfo bila memang pemerintah benar-benar memiliki itikad membangun good government.
Keteladanan ini tentu harus dimulai dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi publik.
Apa sebenarnya yang termasuk informasi publik?. Informasi publik berdasarkan Undang-Undang KIP adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Dengan penetapan UU KIP, maka instansi pemerintah pusat maupun daerah wajib menginformasikan pada masyarakat sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Setiap badan publik menyampaikan informasi publik kepada masyarakat yang dikelola oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Yang mana PPID ini bertanggungjawab atas penyediaan, pendokumentasian/penyimpanan serta pelayanan informasi.
Agar informasi publik tersebut berjalan efektif, maka Komisi Informasi pun dibentuk. Tugasnya menjalankan Undang-Undang KIP yang berlaku, serta peraturan pelaksanaannya dan menyelesaikan sengketa informasi publik dengan cara mediasi.
Kebebasan informasi adalah kunci kekuatan demokrasi Pancasila, bila menawarkan kebebasan tersebut diiringi dengan tanggungjawab penuh. Kebebasan informasi itu sendiri bisa mendorong akses publik, sehingga publik bisa mendapatkan informasi yang positif seluas-luasnya.
Pelayanan informasi publik ini sendiri menjadi krusial dan relevan dijadikan orientasi utama pemerintah, bila dikorelasikan dengan teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh John Locke, Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat (P.N.H Simanjuntak. Pendidikan Kewarganegaraan. Grasindo. hlm. 151).
Bahkan lebih dari itu, kedaulatan tuhan pun sudah selayaknya diposisikan di atas kedaulatan rakyat, mengingat RKUHP sebagai produk hukum dari sekumpulan asumsi manusia tidak akan mungkin bisa menandingi Hukum Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan dengan ilmu Allah. Sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
”Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al–Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (QS Al-Israa’ [17] :88).
”Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu’. Katakanlah, ‘Maka datangkanlah 10 surat seumpamanya dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu itu, maka ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Rabb selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (diatur dengan hukumNya)?” (QS Huud [11]:13-14).
Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah lebih banyak mendengarkan aspirasi masyarakat yang berbasis referensi ketuhanan yang Maha Esa dan kritik masyarakat yang bersifat konstruktif ilmiah terkait RKHUP. Mengingat produk hukum hasil rekayasa manusia itu cenderung memiliki keterbatasan dan kelemahan dan tidak sebanding dengan Kitab Allah bernilai Hukum Allah tentang keteladanan kenabian.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu juga seolah memaksakan RKHUP harus diterima dengan cara mengerahkan influencer bayaran secara boros yang justru dapat menimbulkan berbagai spekulasi publik.
Jika spekulasi publik berkembang dalam menilai ada ambisi politik di balik getolnya pemerintah mempertahankan RKHUP, sementara publik mencium lemahnya peran pemerintah dalam memberdayakan divisi humas yang ada. Maka akhirnya pemerintah akan menjadi kesulitan sendiri dengan jalan pintas yang dipilih telah mengabaikan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan informasi publik.
Tidak hanya itu, nomenklatur “kominfo” (komunikasi dan Informasi) yang dikritik masyarakat, tampaknya semakin rasional. Karena nomenklatur tersebut menunjukkan upaya yang lebih mengutamakan keterampilan komunikasi dari pada informasi sebagai esensinya. Hal ini justru berakibat mengapa menjadi marak misinformasi di dunia maya. Oleh karena itu, Kemenkominfo perlu meninjau ulang penggunaan nomenklatur “kominfo”, karena memang lebih tepat menggunakan nomenklatur “infokom”. Mengapa demikian? sebab faktanya, komunikasi yang baik sangat ditentukan oleh informasi yang objektif ilmiah. Memang informasi yang transparan, aktual, tajam, terpercaya dan berimbang, bila dikomunikasikan dapat mengancam anomali oknum pemerintah.
Sehebat apapun influencer bayaran bersilat lidah, pada akhirnya suara mereka yang dibeli pemerintah tidak akan mampu selamanya menutupi suara-suara masyarakat cerdas yang jujur dan tulus. Ketika warganet semakin mengekspos wawasan luas sebagai syarat membanding dan nilai bandingan sebagai parameter kebenaran. Maka pada waktunya, nilai-nilai yang benar dapat teruji. Suatu masa akan tiba kebohongan menjadi runtuh, maka tak ada yang dapat menghentikan batasan ruang dan waktunya yang telah ditentukan keruntuhannya, walau sesaat pun. (*)