Salah satunya dalam hadis yang berbunyi: “Suatu kali, Nabi Muhammad SAW keluar untuk melaksanakan salat Istisqa, ketika Nabi hendak hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya.” (HR. Muslim).
Semangat di dalam hadis inilah yang kemudian menjadi landasan dari tradisi mendarahi rumah di Nagari Matua Mudiak. Masyarakat berpendapat bahwa ketika Nabi SAW memutarkan selendang hanyalah sebagai isyarat atau simbol agar keadaan berubah layaknya putaran selendang tersebut, yakni dari musim kemarau berubah menjadi musim hujan. Demikian juga halnya dalam tradisi mendarahi rumah yang menggunakan ayam jantan, dengan harapan rumah yang akan didirikan dan ditempati kokoh dan kuat seperti ayam jantan.
Selanjutnya, hadis di atas diperkuat lagi oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dengan menceritakan kisah Abu Hurairah yang mengadu kepada Nabi SAW tentang kelemahan hafalannya. Hadisnya sebagai berikut yang artinya: Abu Hurairah bercerita: “Saya berkata kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, saya sering mendengarkan hadismu, tapi sayang banyak saya lupa, lalu Rasul menjawab, “Bentangkan sorbanmu”, saya pun membentangkannya dengan kedua tangan beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “kumpulkan”, sayapun mengumpulkannya. Setelah peristiwa tersebut saya tidak pernah lupa (terhadap apa yang beliau sampaikan). (HR. Al-Bukhari).
Isyarat yang digunakan Nabi dalam hadis di atas sama dengan tradisi mendarahi rumah yang dipraktekkan oleh masyarakat, seperti menggunakan ayam jantan. Selama tradisi tersebut diniatkan hanya untuk meminta kepada Allah SWT, maka selama itu pula tradisi tersebut dibolehkan. (*)
Oleh: Siska Wahyuni Fitri dan Nunu Burhanudin
(Mahasiswa Pascasarjana PAI di UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi)