Tradisi Mandarahi Rumah di Nagari Matua Mudiak

Nagari Matua Mudiak

Manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari budaya, adat dan tradisi yang mengatur kehidupan sosialnya. Istilah “tradisi” merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun oleh kelompok masyarakat dalam suatu daerah. Dengan demikian, tradisi dapat membantu untuk memperlancar pribadi anggota masyarakat.

Masyarakat dalam hal ini adalah satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Minangkabau meski dalam satu etnis, namun di berbagai wilayahnya memiliki beragam budaya yang berbeda. Sebagaimana pepatah minang mengatakan “Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain ilalang, lain nagari lain adatnyo”.

Dari pepatah ini dapat diketahui bahwa di setiap wilayah yang berbeda memiliki keunikan budaya tersendiri, bahkan komunitas budaya yang berbeda merasa asing dengan budaya yang ada di komunitas lainnya. Namun, perbedaan dalam setiap budaya memberikan keunikan tersendiri bagi komunitasnya. (Sujarwa, 2011)

Di Minangkabau kebudayaannya identik dengan memadukan antara adat dan agama. Adat dan agama terjalin dengan kuat, hal ini tercermin dalam falsafah adat “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” (ABS-SBK), maksudnya adat harus didasarkan pada agama, agama berdasarkan kitabullah yaitu Al-Qur’an dan hadis. Diperkuat lagi dengan pituah-pituah lain sebagai pendamping dan penjelasnya yang berbunyi “Syara’ mangato, adat mamakai”, maksudnya ialah bahwa apa yang diajarkan dan difatwa oleh agama Islam, maka adatlah sebagai sarana pelaksanaannya. (Salmadanis, 2003).

Salah satu bentuk tradisi atau kebudayaan yang masih rutin dilakukan dalam kehidupan masyarakat adalah tradisi mendarahi rumah, tradisi ini dilakukan turun-temurun dari dahulu hingga sekarang oleh masyarakat di Nagari Matua Mudiak, Kecamatan Matur.

Masyarakat menyebut tradisi mendarahi rumah ini dilakukan dengan melumuri darah hewan yang disembelih pada sekeliling rumah yang akan dibangun dan ditempati. Menurut salah satu tokoh adat, Syarifuddin, tradisi mendarahi rumah adalah sebuah keharusan, karena jika tidak dilakukan akan berdampak kepada tukang, serta kepada keluarga yang akan menempati rumah tersebut.

Menurutnya, tradisi ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk kepedulian sosial (adat korong bakampuang), yakni melaksanakan adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu. (Wawancara dengan Syarifuddin, 2022).

Sebagai tokoh adat sekaligus sebagai tokoh masyarakat, Nasrul DT. Rajo Endah mengatakan bahwa tradisi mendarahi rumah yang sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat bukanlah sesuatu yang salah, hanya sebatas harapan dan doa yang ditujukan kepada Allah semata. Mendarahi sekeliling rumah dengan darah ayam jantan hanya sebagai simbol dalam berdoa, agar rumah berdiri kokoh serta dilindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan. (Wawancara dengan N. DT. Rajo Endah, 2022).

Tradisi ini dilakukan ketika hendak membangun rumah hingga tahap akhir. Tradisi ini dilakukan dengan dua proses. Pertama, apabila hendak mendirikan pondasi rumah, maka dilaksanakan penyembelihan hewan (ayam), darah dari hewan tersebut diedarkan ke seluruh wilayah yang akan dibangun pondasi rumah. Kedua, apabila bangunan rumah tersebut sudah pada tahap pemasangan (kudo-kudo), maka dilakukan lagi tradisi mendarahi pondasi (kudo-kudo) rumah. Sedangkan daging dari hewan yang disembelih, dimasak dan dimakan bersama-sama dan didahului dengan memanjatkan doa-doa kebaikan.

Tradisi ini rutin dilakukan oleh masyarakat yang akan membangun sebuah rumah. Dalam tradisi ini terselip harapan dan doa oleh masyarakat, agar rumah yang akan dibangun dan ditempati aman dari pertikaian di antara anggota keluarga yang menempati. Tradisi ini disertai dengan doa bersama yang dimaksudkan supaya para pekerja selamat dari musibah selama bekerja, seperti kayu yang akan menimpa, gergaji yang melukai, serta tidak mengalami kecelakaan lainnya.

Secara umum masyarakat berpendapat bahwa mendarahi rumah dengan darah ayam jantan hanya sebagai simbolik, menurut beberapa riwayat sudah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW dan mempunyai landasan yang kuat dalam Islam. Hadis inilah yang kemudian hidup (living hadits) dan berkembang di tengah masyarakat.

Salah satunya dalam hadis yang berbunyi: “Suatu kali, Nabi Muhammad SAW keluar untuk melaksanakan salat Istisqa, ketika Nabi hendak hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya.” (HR. Muslim).

Semangat di dalam hadis inilah yang kemudian menjadi landasan dari tradisi mendarahi rumah di Nagari Matua Mudiak. Masyarakat berpendapat bahwa ketika Nabi SAW memutarkan selendang hanyalah sebagai isyarat atau simbol agar keadaan berubah layaknya putaran selendang tersebut, yakni dari musim kemarau berubah menjadi musim hujan. Demikian juga halnya dalam tradisi mendarahi rumah yang menggunakan ayam jantan, dengan harapan rumah yang akan didirikan dan ditempati kokoh dan kuat seperti ayam jantan.

Selanjutnya, hadis di atas diperkuat lagi oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dengan menceritakan kisah Abu Hurairah yang mengadu kepada Nabi SAW tentang kelemahan hafalannya. Hadisnya sebagai berikut yang artinya: Abu Hurairah bercerita: “Saya berkata kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, saya sering mendengarkan hadismu, tapi sayang banyak saya lupa, lalu Rasul menjawab, “Bentangkan sorbanmu”, saya pun membentangkannya dengan kedua tangan beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “kumpulkan”, sayapun mengumpulkannya. Setelah peristiwa tersebut saya tidak pernah lupa (terhadap apa yang beliau sampaikan). (HR. Al-Bukhari).

Isyarat yang digunakan Nabi dalam hadis di atas sama dengan tradisi mendarahi rumah yang dipraktekkan oleh masyarakat, seperti menggunakan ayam jantan. Selama tradisi tersebut diniatkan hanya untuk meminta kepada Allah SWT, maka selama itu pula tradisi tersebut dibolehkan. (*)

Oleh: Siska Wahyuni Fitri dan Nunu Burhanudin

(Mahasiswa Pascasarjana PAI di UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Exit mobile version