Pers Berkualitas

Oleh: Zul Efendi (Wartawan Utama, Pemimpin Umum Haluan, Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Sumbar)

Zul Efendi

Zul Efendi

Satu dari sekian banyak topik aktual tentang pers yang dibicarakan hari ini, termasuk di arena Hari Pers Nasional (HPN) di Medan, adalah tentang tantangan pers di era digital dan bagaimana cara menghadapinya.

Sebetulnya, pembicaraan tantangan pers di era digital ini sudah berlangsung sejak satu dekade terakhir. Pemicunya adalah disrupsi digital. Penemuan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan segala bentuk informasi menjadi digital, menimbulkan gejolak dan mengguncang entitas pers mainstream atau media arus utama, terutama media cetak.

Disrupsi digital tidak hanya mengguncang, tapi lebih telak lagi, menghisap dan menenggelamkan. Puluhan, bahkan ratusan surat kabar, tabloid dan majalah terbitan nasional maupun internasional,  terpaksa tutup edisi cetaknya dan sebagian beralih ke versi digital. Terakhir, awal tahun 2023, Koran Republika dan empat media cetak milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yakni Tabloid Nova, Majalah Bobo Junior, Majalah Mombi dan Majalah Mombi SD, berhenti terbit.

Di sisi lain, bak cendawan tumbuh di musim hujan, disrupsi digital melahirkan puluhan ribu media digital. Data yang dirilis Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Kominfo, Usman Kansong, awal Januari 2023, membuktikannya. Di Indonesia kini tercatat 48 ribu media online. Jika ditambah dengan yang belum tercatat, maka jumlah media online bisa mencapai 50 ribu, bahkan lebih. Dari puluhan ribu itu, baru ada 400 media online yang terverifikasi Dewan Pers atau kurang 10 persen.

Apa implikasi dari perkembangan itu? Negeri ini banjir informasi. Jumlah wartawan, atau orang yang menjalankan kerja wartawan, membubung. Data yang disampaikan Staf Ahli Menteri Kominfo RI, Prof. Dr. Widodo Muktiyo awal pekan ini, mengungkap ada 235 ribu wartawan. Dari jumlah ini, baru 23.300 atau kurang juga 10 persen yang memiliki sertifikasi kompetensi wartawan.

Banjir informasi digital itu kian tidak terkendali dengan kemunculan news media atau media sosial (medsos). Hari ini, nyaris setiap orang bisa menjadi produsen informasi. Apapun yang berdetak, yang terjadi di sekitarnya, direkam, ditulis dan disebar melalui medsos-nya. Apakah informasi yang didistribusikan itu terverifikasi atau tidak, benar atau tidak, tidak dipikirkan benar. Pokoknya posting, share dan diviralkan.

Apa dampak lanjutan dari perkembangan itu? Publik dikepung informasi dangkal, bias, kacau dan menjurus fitnah. Bahkan sebagian kabar itu sengaja direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Inilah yang disebut hoaks, berita palsu atau bohong. 

Sejarawan dunia Yuval Noah Harari pernah menyebutkan,”Informasi yang mengandung kejelasan akan menjadi kekuatan.” Kalau dibalikkan tafsirnya menyikapi perkembangan hari ini, bisa disimpulkan,”Informasi yang tidak jelas, yang dangkal, bias, kacau bahkan palsu dan bohong akan menjadi kelemahan.” Informasi jenis ini bisa menjadi virus yang daya rusaknya bisa lebih ganas lagi dari Covid-19. Masyarakat, publik, bangsa ini akan jadi tumpul karena logika dan nalarnya kacau atau bisa jadi hang akibat mengonsumsi informasi yang rusak itu.

Informasi Berkualitas 

Hari ini, masyarakat pers dan kita semua berada pada era VUCA. Era yang penuh dengan volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity. VUCA pengertian praktisnya adalah sebuah kondisi ketika perubahan terjadi super cepat, tidak pasti, kompleks dan ambigu yang disebabkan transformasi digital atau teknologi. Jangankan mengatasinya, memahaminya pun begitu rumit.

Di sinilah tantangan pers hari ini. Di tengah era VUCA dan badai disrupsi digital yang tengah menggila ini, masih mampukah media arus utama melahirkan informasi yang berkualitas? Informasi yang baik, yang jelas, yang bermanfaat, yang bisa memetakan persoalan secara mendalam dan komprehensif sehingga bisa dijadikan dasar mengambil keputusan.

Saya termasuk orang yang optimistis, bahwa pers, termasuk pers di daerah, masih mampu memproduksi informasi yang berkualitas. Asal punya kesadaran dan kemauan yang kuat plus kerja keras, kerja cerdas, inovatif dan kolaboratif, media arus utama akan bisa melahirkan informasi yang baik, yang jelas dan bermanfaat untuk publik.

Saya juga orang yang percaya, di balik setiap tantangan, sesungguhnya tersembunyi peluang.  Sebagai orang yang beriman, kita meyakini janji Allah yang memastikan, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan, itu ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan, ada kemudahan.” (QS Asy-Syarh: 5-6).  

Menurut CEO Maine Today Media, Lisa de Sisto, pada era VUCA dan digital ini, jurnalisme dan surat kabar menjadi sangat penting melebihi era-era sebelumnya. Ketika banyak informasi yang tidak terverifikasi, surat kabar dengan jurnalisnya yang kompeten diperkuat dengan saringan berlapis di ruangan redaksinya, akan bisa menghasilkan informasi yang akuntabel.

Apalagi jika perusahaan media dan wartawannya adalah orang-orang yang paham dan taat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dapat dipastikan, produk pers-nya, baik dan bermanfaat.

Produk pers dan surat kabar yang baik, dapat menjadi ‘vaksin’ untuk melawan dan melumpuhkan ‘virus’ informasi miskin kualitas. Termasuk mengimbangi  serbuan relis yang hanya membangun citra positif dari lembaga atau atasan si pembuat relis, padahal realitasnya banyak yang perlu dikoreksi.

Pers hari ini, fungsinya tidak hanya sekedar menginformasikan. Media arus utama harus memastikan fungsi-fungsinya berjalan sesuai yang termaktub dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, disamping juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.   

Menghadapi era VUCA dan disrupsi digital, pers, jika mau tetap dipercaya, dicintai dan dibutuhkan oleh publik, tidak ada kata lain, harus mampu menjalankan perannya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999.

Peran itu adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta menghormati kebhinekaan. Selain itu, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Terakhir, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Tidak mudah memang, menjalankan fungsi dan peran tersebut. Ya, tidak semudah membaca dan mengutip pasal-pasal dalam UU Pers itu. Tapi, di sinilah indahnya. Jika kita tidak melalui kesulitan, mana tahu kita nikmatnya kemudahan. Bukankah pers hari ini adalah buah perjuangan pejuang-pejuang pers dari zaman sebelumnya?  Dan itu, diraih dari berlapis-lapis kesulitan. Tidak hanya pikiran dan tenaga yang mereka korbankan. Tapi juga darah, air mata, dan bahkan nyawa.

Saya percaya, hari ini masih banyak pihak yang mendukung pers berkualitas. Sebab, produk pers yang baik, sesungguhnya bukanlah untuk kepentingan pers itu sendiri. Tapi, publik! Masyarakat, pemerintah, daerah, negara dan bangsa ini, butuh pers berkualitas. Saya percaya itu. Bahkan, sangat percaya. Selamat Hari Pers Nasional! (*)

Exit mobile version