Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu

Menarik untuk membicarakan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu, ada tiga lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. Ada beberapa regulasi yang mengatur keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu, mulai dari UUD 1945 pasal 28 H ayat 2, Pasal 10 ayat (7) dan pasal 92 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengamanatkan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu minimal 30 %. Hanya saja banyak fakta menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu masih minim dan rendah. Menurut data yang dirilis oleh Puskapol UI, partisipasi perempuan pada tahapan pendaftaran seleksi penyelenggara pemilu 2022-2027 belum menyentuh angka 30%. Pelamar untuk anggota KPU RI periode 2022-2027 hanya mencapai 27,6 % dan yang terpilih hanya 1 orang dari perempuan, kalau mengikuti skema kuato 30 %, setidaknya ada 2 komisioner KPU RI dari perempuan. Sementara untuk anggota Bawaslu RI yang mendaftar hanya 25 %, dan yang duduk sebagai komisioner hanya 1 orang. Untuk DKPP RI juga hanya ada 1 orang perempuan. Data-data tersebut juga tidak jauh berbeda kondisinya dengan KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota.

Padahal pelibatan perempuan sebagai penyelengara pemilu menjadi penting untuk mewujudkan system demokrasi yang lebih inklusif dengan menghadirkan perempuan secara langsung. Problemnya masih menjadi klausal dalam aturan saja, belum diturunkan secara detail bagaimana untuk mendapatkan keterwakilan perempuan tersebut di lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.

Ada beberapa alasan pentingnya keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu, pertama, dengan adanya keterwakilan perempuan 30 % sebagai penyelenggara pemilu itu jelas sudah mematuhi amanat dari konstitusi, dan kewajiban bersama warga negara untuk mematuhi konstitusi tersebut. Kedua, kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu dapat mendorong peningkatan partisipasi politik perempuan di berbagai lembaga politik yang ada, dengan hadir nya perempuan sebagai penyenggara pemilu menjadi penyemangat bagi perempuan-perempuan lainnya untuk terlibat aktif dalam berbagai arena politik praktis lainnya. Ketiga, dengan adanya perempuan sebagai penyelenggara pemilu dapat melakukan pengawalan dan pengawasan terhadap suara perempuan yang bertarung di arena politik. Dari data DPS yang disampaikan oleh KPU untuk pemilu 2024,  ada sebanyak 205.853.518 pemilih, dan sebanyak 103.006478 adalah pemilih perempuan, sementara pemilih laki-laki adalah 102.847.040, jadi ada selisih 159.438 pemilih. Jadi hadirnya perempuan di lembaga penyelenggara pemilu bukan hanya untuk memahami politik gender saja akan tetapi hadirnya perempuan diharapkan secara angka dan tentu saja kualitas.

Walapun secara formal peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu sudah diatur dalam konstitusi melalui tindakan affirmatif action sekurang-kurang 30 %, akan tetapi dalam prakteknya perempuan banyak terbentur dalam peningkatan keterlibatannya secara politik. Ada beberapa factor kurangnya keterlibatan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu, yaitu : Pertama, kepercayaan masyarakat, terutama kaum perempuan terhadap tim seleksi penyelenggara pemilu. Banyak masyarakat meragukan profesionalitas dan integritas tim seleksi penyelenggara pemilu, banyak beredar isu dan anggapan dari masyarakat bahwa siapa yang akan duduk sebagai penyelenggara pemilu itu sudah ‘diatur’ sedemikin rupa, ini mungin salah satunya karena adanya perubahan rekruitmen tim seleki penyelenggara menjadi semi terbuka, penyelenggara hanya diusulkan oleh berbagai ormas, stakeholder dan kelompok civil society lainnya kepada KPU/Bawaslu RI dan kemudian diumumkan siapa-siapa yang lulus sebagai timsel, walaupun anggapan ini terbantahkan dengan sendirinya, karena KPU/Bawaslu dalam seleksi sudah mempertimbangkan portofolio para tim sel yang lolos, baik dari segi pendidikan, pengalaman dan trac record, nah kondisi ini tentu menjadi tugas berat bagi tim seleksi untuk membangun kepercayaan public untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, kurang nya waktu untuk sosialisasi pendaftaran kepada public. Rata-rata tim seleksi itu bekerja dari awal pendaftaran sampai terpilihnya anggota KPU/Bawaslu hanya 3 bulan. Sementara sosialisasi yang intens kepada masyarakat, terutama perempuan tentang informasi proses seleksi menjadi sangat penting dalam mencari komisioner yang berkualitas dan sekaligus memastikan keterwakilan perempuan terpenuhi tidak hanya pada saat pendaftaran, tetapi sampai pada tahapan keterpilihan perempuan sebagai penyelnggara pemilu.

Ketiga, banyak pendaftar yang belum punya pengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Di awal seleksi, poin penilaian terhadap pendaftar yang sudah/pernah menjadi penyelenggara pemilu menjadi penting dan mendapatkan skor penilaian yang cukup tinggi, rata-rata penyelenggara pemilu selama ini masih didominasi oleh laki-laki, tentu saja para pelamar dari perempuan yang belum berpengalaman menjadi komisioner akan kalah bersaing dengan laki-laki, sehingga pemenuhan kuota perempuan akan semakin berkurang.

Keempat, hambatan budaya. Budaya patriaki yang selama ini terjadi menjadi factor penghambat lainnya untuk perempuan ikut mendaftar sebagai penyelenggara pemilu, banyak anggapan bahwa perempuan itu bekerja di sector domestic saja, tidak berada pada ranah public, karena ranah public itu adalah tempat nya laki-laki, dan ada anggapan juga bahwa perempuan yeng bekerja di luar rumah dianggap tidak baik dalam mengurus keluarga, ditambah lagi dengan kurang nya rasa percaya diri dari perempuan itu sendiri terhadap kemampuan mereka, faktor-faktor internal ini tentu saja menjadi penghambat dalam mencari penyelenggara pemilu perempuan.

Akan tetapi terlepas dari semua itu, yang lebih substansi tentu saja adalah memastikan akses kesetaraan dan keadilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sampai tingkat yang paling rendah (grass root) terpenuhi. Dan komitmen bersama dari tim seleksi penyelengga pemilu untuk memastikan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu memenuhi kuota 30 % atau lebih. (Dewi Anggraini, Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP Unand dan Tim Seleksi Bawaslu Wilayah Sumbar II)

Exit mobile version