Bullying di Kalangan GenZ Kian Marak, Semua Harus Bergerak !

Oleh : Dr. Ns. Rika Sarfika, S.Kep., M.Kep (Dosen Fakultas Keperawatan UNAND)

Bullying dikalangan remaja sudah sangat mengkhawatirkan saat ini. Remaja atau yang disebut Generasi Z (Gen Z) menjadi populasi rentan mengalami bullying baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Bullying sering terjadi di lingkungan sekolah, di  masyarakat, bahkan bullying dikalangan remaja juga marak terjadi di sosial media yang disebut dengan cyberbullying.

Kenapa bullying marak terjadi pada Gen Z?, karena Gen Z adalah generasi digital atau disebut juga dengan generasi internet. Generasi yang cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, kurang bersosialisasi dengan lingkungan secara langsung, cenderung egosentris dan individualis, cenderung serba instan, tidak sabaran dan tidak menghargai proses. Gen Z adalah penduduk dengan perkiraan usia 11-26 tahun, yang berada di usia remaja hingga dewasa awal. Transisi dari remaja menuju dewasa merupakan masa yang dialami Gen Z berhadapan dengan banyak tantangan dan pengalaman baru.

Bullying adalah tindakan yang mencoba untuk menyakiti/mengontrol orang lain dengan cara kekerasan. Bullying dapat terjadi baik secara fisik maupun verbal. Contoh dalam bentuk fisik: memukul, menendang, mendorong dan sebagainya. Sedangkan dalam bentuk verbal: menghina, dan membentak dengan kata kasar.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat 119 kasus bullying pada anak sepanjang tahun 2020, 53 kasus bullying di lingkungan sekolah di tahun 2021, dan 168 kasus di sosial media. KPAI juga melaporkan kasus bullying dengan kekerasan fisik dan mental yang terjadi di lingkungan sekolahtahun 2022 sebanyak 226 kasus, termasuk 18 kasus bullying di sosial media.

Banyak sekali berita bullying yang beredar baik di media sosial maupun di media massa. Salah satu contoh bullying yang terjadi pada tanggal 28 Juni 2023 lalu, seorang siswa SMP N 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung melakukan aksinya membakar sekolah. Anak tersebut mengaku sakit hati karena sering di bully oleh teman-temannya dan juga termasuk gurunya. Sehingga anak tersebut merasa kurang diperhatikan dan tidak mendapatkan pembelaan dari siapapun disekolahnya. Selain itu, di Johar baru 3 remaja membully pria berkebutuhan khusus. Sebuah video viral juga merekam sekelompok remaja perempuan membully teman sebaya, korban dibanting dan dipukuli. Tidak bisa dipungkiri, ini sudah merupakan fakta bahwa perilaku bullying sangat banyak di Indonesia.

Siapa yang harus disalahkan dari kasus ini? pelaku bullying atau korban bullying?. Dan kemungkinan kejadian ini terjadi disebabkan oleh pelaku bullying yang pernah menjadi korban bullying dan korban bullying  yang dendam terhadap pelaku bullying. Permasalahan bullying ini sangat mengancam kesehatan mental pada Gen Z. Korban bullying akan menimbulkan trauma psikologis, ketakutan, depresi, kecemasan dan stres. Tidak hanya ini tetapi juga menimbulkan pemikiran untuk bunuh diri, melukai diri sendiri dan orang lain. Jika tidak ada penanganan khusus, maka permasalahan ini akan berputar dalam satu siklus tanpa adanya jalan keluar.

Mengingat remaja adalah generasi bangsa dan diperkirakan Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2045. Lalu, bagaimana caranya mewujudkan Gen Z tanpa bullying? Tentunya membutuhkan peran dari pola asuh orang tua, dukungan guru dalam mengajarkan nilai, norma dan peran serta hal hal yang berkaitan dengan dukungan sosial di sekolah, dan kebijakan pemerintah dalam penangan permasalahan bullying ini.

Permasalahan bullying pada Gen Z ini memang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Namun sayangnya, sampai saat ini belum ada penanganan khusus yang terlihat. Meskipun pemerintah sudah memikirkan terkait permasalahan ini namun belum diperioritaskan. Seharusnya penanganan ini dimulai dengan pemberian edukasi tentang dampak bullying  baik dilingkungan tempat tinggal masyarakat, dilingkungan sekolah maupun dilingkungan pemerintah.

Bagaimana solusinya?. Tentu semua pihak harus terlibat mulai dari keluarga, sekolah, maupun pemerintah. Peran keluarga sangat penting dalam membentuk perilaku remaja, menanamkan nilai-nilai moral, kasih sayang dan nilai agama pada anak, meningkatkan rasa percaya diri anak, serta mengajarkan rasa peduli dan etika. Lingkungan sekolah juga harus membuat program penanganan bullying seperti pencegahan anti bullying dan hukuman bagi pelaku yang melakukan tindakan tersebut, membangun diskusi dan ceramah tentang mengatasi aksi bullying, serta memberikan bantuan pada korban bullying sehingga tercipta lingkungan yang tenang dan aman agar sekolah bukan lagi menjadi tempat menakutkan dan membuat trauma. Pemerintah juga harus ikut andil dalam mewadahi dan memfasilitasi permasalahan bullying yang sedang dialami Gen Z ini dengan meningkatkan pemberian edukasi, seminar ataupun workshop.

Apakah bullying akan berdampak pada kesehatan mental? Tentu saja, apabila tidak ditangani, maka akan terjadi masalah gangguan mental yang mengakibatkan gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk seperti skizofrenia, depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan mental organik, gangguan psikomatik, bunuh diri, dan retardasi mental. World Health Organization (2020), menyatakan bahwa 1 dari 6 remaja usia 10-19 tahun mengalami gangguan mental. National Institute of Mental Health (2020), mencatat kasus gangguan mental di negara Amerika paling banyak terjadi adalah pada individu usia 18-25 tahun yaitu sebesar 29.4%. Sedangkan, di Indonesia menurut laporan Riskesdas (2018), tercatat prevelensi gangguan mental pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 6.2% untuk depresi dan 10.0% untuk gangguan mental emosional dari 157.695 angka tertimbang. Bullying diyakini sebagai salah satu faktor yang menyumbang masalah gangguan mental pada Gen Z  ini.

Mengingat remaja adalah generasi bangsa dan diperkirakan Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2045. Tentunya, masalah bullying ini harus ditanggapi serius, semua pihak harus melakukan dan penanganan dan pencegahan secara konsisten. Dengan harapan besar cita-cita Indonesia tahun 2045 tidak terhalang oleh masalah perilaku seperti bullying yang dapat berdampak pada masalah kesehatan mental remaja.

Exit mobile version