HARIANHALUAN.ID – Di era digital ini, media sosial bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi alat propaganda yang berbahaya, menyebarkan informasi yang salah dan memperburuk situasi krisis. Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi pahlawan yang siap bertarung, membantu organisasi melewati masa-masa sulit dengan kekuatan digitalnya.
Pertama, media sosial dapat menjadi alat komunikasi yang ampuh untuk menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya kepada publik. Di tengah kebingungan dan kepanikan yang melanda saat krisis, organisasi dapat menggunakan medsos untuk menenangkan publik dengan fakta dan perkembangan terkini. Hal itu dapat membantu membangun kepercayaan publik terhadap organisasi dan mencegah penyebaran informasi yang salah.
Kedua, medsos dapat menjadi wadah untuk membangun hubungan dan empati dengan publik. Melalui medsos, suatu organisasi dapat menunjukkan kepedulian dan komitmennya dalam menyelesaikan krisis. Konten yang menyentuh hati, seperti kisah inspiratif korban krisis atau aksi nyata organisasi dalam membantu masyarakat dapat membangun empati dan dukungan publik. Ketiga, medsos dapat menjadi platform untuk menggalang partisipasi dan bantuan. Organisasi dapat memanfaatkan medsos untuk menggalang dana, mencari relawan, dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis. Kekuatan kolektif netizen dapat menjadi kekuatan besar dalam membantu organisasi melewati masa-masa sulit.
Keempat, medsos dapat menjadi alat untuk memantau situasi dan perkembangan krisis secara real-time. Dengan memantau percakapan online dan trending topik, organisasi dapat mengidentifikasi potensi masalah baru, memahami sentimen publik dan mengantisipasi dampak krisis. Hal ini dapat membantu organisasi mengambil langkah proaktif dan strategi yang tepat dalam menyelesaikan krisis.
Pada sisi lain, citra bagaikan cerminan diri bagi sebuah organisasi atau perusahaan. Ia merepresentasikan identitas, nilai-nilai, dan reputasi di mata publik. Citra yang baik dapat menjadi aset berharga, membuka peluang baru, dan mengantarkan organisasi menuju kesuksesan. Citra yang buruk dapat mencoreng reputasi, menggerus kepercayaan publik, dan bahkan berujung pada kegagalan. Sejarah mencatat, banyak perusahaan yang bangkrut akibat citra yang buruk, terjerat skandal, atau gagal menangani krisis dengan tepat.
Banyak pula contoh perusahaan yang berhasil bangkit dari keterpurukan citra. Dengan strategi pemulihan citra yang tepat, seperti mengakui kesalahan, menunjukkan komitmen perbaikan, dan membangun kembali kepercayaan publik, perusahaan-perusahaan mampu bangkit dan kembali meraih kesuksesan. Kasali (2003) menekankan bahwa citra perusahaan yang baik bukan hanya bertujuan untuk kelangsungan hidup bisnis, tetapi juga untuk mendorong kreativitas dan membawa manfaat yang lebih signifikan bagi masyarakat. Sebuah organisasi dengan citra positif memiliki peluang lebih besar untuk menarik talenta terbaik, menjalin kerjasama yang strategis, dan berkontribusi positif bagi lingkungannya. Demi menjaga citra baik instansi, humas memiliki wewenang untuk monitoring dan evaluasi. Hal ini berguna agar perusahaan tidak rusak reputasinya oleh publik. Dengan adanya humas diharapkan dapat meluruskan isu yang berkembang di masyarakat.
Menurut Onong Uchjana Effendy (1983), strategi bukan sekadar peta jalan yang menunjukkan arah tujuan. Ia adalah perpaduan antara perencanaan dan manajemen yang matang, dilengkapi dengan panduan taktik operasional yang jelas dan terukur. Analogikan strategi sebagai sebuah perjalanan panjang. Peta jalan memang penting untuk menunjukkan arah, namun tanpa panduan taktik yang detail, perjalanan tersebut bisa menjadi kacau dan tak terarah. Strategi yang efektif harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial seperti bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan, langkah-langkah operasional apa yang harus diambil, sumber daya apa yang dibutuhkan, bagaimana mengukur keberhasilan setiap langkah dan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi rintangan yang mungkin muncul.