Belajar dari Kasus Eigenrechting Ade Armando
Oleh: Lalu Niqman Zahir (Mahasiswa Program Doktor IPDN Jakarta)
Beberapa hari ini kita masih tersedot perhatian kita oleh aksi mahasiswa BEM SI di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI 11 April 2022. Paling tidak ada dua berita penting yang menarik perhatian adalah kericuhan yang pada aksi tersebut dan peristiwa pemukulan yang terjadi terhadap pegiat media sosial dosen UI Ade Armando.
Ade Armando yang menjadi korban kekerasan babak belur dan ditelanjangi dengan menyisakan celana dalam dan sungguh beruntung peristiwa kekerasan tersebut tidak berujung pada kematian.
Berita tentang Ade Armando ini terkesan lebih menawan dan menyita perhatian masyarakat. Ade Armando sangat dikenal dengan beberapa tanggapan kontroversialnya seperti misalnya tentang LGBT yang tidak menjadi perbuatan terlarang dalam agama, tentang membaca Al’quran dengan langgam jawa, minang, blues atau hip hop, pernyataannya tentang haji yang tidak wajib dan umrah adalah pemborosan serta shalat lima waktu tak ada dalam Al’quran. Bahkan Ade Armando yang telah menjadi tersangka kasus dugaan menistakan agama pada tahun 2017 silam, tiba tiba saja hadir dan tampil ditengah tengah mahasiswa mendukung tuntutan mahasiswa.
Namun naas bagi Ade tampil didepan mahasiswa justru berakhir dengan penganiayaan. Entah siapa yang memulai, tapi tampilnya Ade ditengah tengah demo mahasiswa juga menjadi pertanyaan.
Peristiwa yang menimpa Ade Armando adalah salah satu contoh dari peristiwa yang dikenal dengan nama “main hakim sendiri” (atau eigenrechting dalam Bahasa Belanda) yaitu tindakan sewenang-wenang untuk menghukum atau menghakimi suatu pihak tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Adapun perbuatan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan, seperti dengan melakukan intimidasi, pengeroyokan, kekerasan fisik, mulai dari pemukulan, penyiksaan, pembakaran, hingga menyebabkan pelaku kejahatan meninggal dunia.