Studi Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah Tentang Gaya Hidup Orang Berharta/Kaya di Era Sekarang

Oleh : Nurul Tahta Islami (Program Studi Ekonomi Syariah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar)

Pemikiran bahwa kekayaan adalah pemberian Allah pada zaman sekarang menunjukkan bahwa kekayaan itu bukanlah semata-mata untuk kepuasan diri sendiri. Hal itu juga merupakan ujian dan amanah untuk digunakan dengan bijak, bertanggung jawab, dan berdampak positif pada orang lain dan komunitas mereka. Ini mencakup pemahaman yang mendalam bahwa mereka memiliki kekayaan yang mereka miliki adalah anugerah dari Tuhan yang harus mereka gunakan dengan bijak dan sadar akan kewajiban sosial mereka. Mereka sangat menyadari bahwa kekayaan dan kesuksesan finansial mereka adalah berkat Allah. Mereka bersyukur atas rezeki itu dan tahu bahwa Dia adalah sumber semua kekayaan itu.

            Orang kaya yang percaya bahwa kekayaan mereka diberikan oleh Allah lebih cenderung hidup sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Mereka mematuhi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk cara mereka mengelola kekayaan mereka dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam Surat Al-Muddatsir/74; 12 yang artinya :

 Dan Aku beri kekayaan yang melimpah

            Tafsir pada ayat diatas menjelaskan bahwasannya Ada orang yang terlalu terikat pada harta benda mereka dan terlena olehnya sehingga melupakan tugas-tugas spiritual dan tanggung jawab sosial mereka. Mereka mungkin terlalu sibuk mengejar kekayaan dan kenikmatan duniawi sehingga melupakan tujuan spiritual dan keadilan sosial.

Selain itu, ayat diatas dapat dikaitkan dengan perspektif tentang gaya hidup orang kaya dan berkuasa di era kontemporer. Orang kaya mungkin terlalu terfokus pada keinginan duniawi mereka, seperti memperoleh lebih banyak harta, kekuasaan, atau kesenangan material lainnya. Mereka mungkin menghabiskan pikiran, waktu, dan tenaga untuk memperoleh dan mempertahankan kekayaan ini sehingga mereka melupakan tanggung jawab mereka kepada Tuhan dan sesama manusia. Jika mereka terlalu sibuk dengan urusan duniawi sehingga melupakan tanggung jawab moral dan sosial mereka, ini dapat menyebabkan ketidaktertarikan terhadap nilai-nilai spiritual, solidaritas sosial, dan keadilan. Ini bukanlah aturan yang pasti. Banyak orang kaya yang terlibat dalam amal kebajikan, memberikan sumbangan besar, dan memanfaatkan kekayaan mereka untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung dan untuk kepentingan umum.

Oleh karena itu, menjadi terlalu terikat pada harta tidak selalu berarti Anda tidak akan melakukan hal-hal baik. Sebaliknya, fokus terlalu besar pada harta dapat membuat Anda lupa tentang hal-hal yang seharusnya lebih penting dalam hidup Anda. Tidak peduli seberapa kaya seseorang, tetap sadar akan tanggung jawab sosial, keadilan, dan nilai-nilai spiritual. Surat al-Muddathir ini mengingatkan kita pada bahaya menjadi terlalu tergantung pada kekayaan sehingga kita melupakan tujuan utama hidup.

Pandangan gaya hidup orang kaya dalam ekonomi syariah menekankan pengelolaan kekayaan berdasarkan prinsip Islam, yang mencerminkan prinsip-prinsip Islam yang mengatur aspek keuangan dan kekayaan. Taat pada Prinsip-prinsip Syariah merupakan memprioritaskan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam setiap aspek bisnis dan keuangan mereka. Ini termasuk menghindari riba, yang dikenal sebagai bunga, praktik perdagangan yang tidak sesuai dengan syariat, dan mematuhi hukum Islam saat bertransaksi keuangan.

Dalam ekonomi syariah, orang kaya menekankan etika dalam pengelolaan keuangan mereka. Mereka tidak hanya memperhatikan profitabilitas, tetapi juga aspek sosial, moral, dan keberkahan saat investasi dan mengelola kekayaan mereka. Mereka memperhatikan orang-orang yang kurang beruntung dan terlibat dalam kegiatan sosial. Sesuai dengan ajaran Islam, zakat dan sadaqah menjadi bagian penting dari gaya hidup mereka untuk membantu mereka yang membutuhkan. QS Al-Hadid: 20  yang artinya :

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.

Dalam potongan ayat tersebut menjelaskan kepada manusia bahwa kehidupan dan kesenangan dunia hanyalah mainan dan hiburan, untuk tertawa dan melengkapi pakaian mereka. Dalam surat ini menekankan sifat sementara dan fana kehidupan dunia, yang dapat membutakan orang dari tujuan kehidupan yang sebenarnya. Ayat ini memberikan pemahaman tentang pentingnya tidak terlalu bergantung pada harta, kesenangan materi, atau kemewahan duniawi dalam konteks gaya hidup orang kaya di zaman sekarang.

Surat ini mengingatkan bahwa semua kekayaan dan kenikmatan dunia hanyalah sementara, seperti tanaman yang tumbuh subur kemudian layu dan mati. Fokus terlalu kuat pada hal-hal materi ini dapat menjauhkan Anda dari mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Ini tidak berarti bahwa memiliki kekayaan adalah haram dalam Islam. Sebaliknya, itu menekankan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, tidak membiarkan kesenangan duniawi menghalangi seseorang dari tanggung jawab mereka terhadap Tuhan dan sesama manusia. Dalam konteks kontemporer betapa pentingnya menggunakan kekayaan dan harta dengan bijak untuk kebaikan dan kesejahteraan umum, tanpa terlalu bergantung pada keinginan material sehingga melupakan nilai-nilai spiritual, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Mereka menyadari bahwa mereka memiliki banyak kekayaan tetapi juga memiliki banyak tanggung jawab. Akibatnya, mereka berusaha untuk menggunakan kekayaan mereka secara adil dan bertanggung jawab, tidak hanya untuk kepentingan pribadi mereka tetapi juga untuk kebaikan umum. Hadis HR.Muslim yang artinya :

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan harta benda kamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kamu.” (HR. Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak menilai seseorang berdasarkan seberapa kaya atau cantik dia. Keadaan hati seseorang dan amal perbuatannya adalah yang paling penting bagi Allah. Ini menunjukkan bahwa nilai utama dalam Islam terletak pada kesucian hati, keikhlasan, dan perbuatan baik, bukan kekayaan materi. Hadis ini mengingatkan kita bahwa, dalam konteks gaya hidup orang kaya yang hidup makmur sebagai pemberian Allah, yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menggunakan kekayaan mereka dan bagaimana keadaan hati dan perilaku mereka terhadap orang lain. Untuk memanfaatkan kekayaan yang diberikan Allah, Anda harus bertindak dengan tanggung jawab, kebijaksanaan, dan keikhlasan. Anda juga harus menyadari bahwa nilai sejati terletak pada akhlak dan amal baik yang dilakukan. Hadis ini menunjukkan bahwa kesucian hati, kebaikan, dan amal yang dilakukan seseorang di hadapan Allah lebih penting daripada kekayaan materi seseorang.

Penelitian yang dilakukan oleh H.A. Yunus, 2019 dengan judul “Konsep Hidup Kaya dan Berkah”. Hasil dari review literature jurnal ialah Memiliki keinginan untuk hidup kaya adalah sesuatu yang wajar dan alami. Namun, untuk mewujudkannya, Anda perlu memiliki keyakinan teologis yang kuat. Kebaikan dunia dan akhirat diutamakan, tetapi Islam tidak melarang hidup kaya. Dua komponen penting dalam mewujudkan cita-cita: a) Aspek moral-religius, yang berarti menghormati orang tua, terutama ibu; menyamakan niat dan mimpi dengan pasangan; dan berterima kasih kepada orang tua. b) Aspek praktis-empiris, yang berarti hidup sederhana dan senang menabung; memiliki bisnis sampingan setara dengan pekerjaan Anda; dan senang berbagi. Konsep kaya tidak diukur dari jumlah harta yang dimiliki; sebaliknya, itu diukur dari jumlah uang yang didistribusikan sesuai dengan kehendak Allah. Memiliki banyak uang tidak berarti Anda kaya. Memiliki harta dan mau berbagi, terutama zakat, adalah ciri kaya. Karena keberkahan terdiri dari nilai-nilai ilahiyah untuk kebaikan dunia-akhirat, keberkahan hanya dapat dirasakan oleh pemiliknya. Kesimpulannya, menjadi kaya tidak ditentukan oleh banyaknya harta; sebaliknya, itu ditentukan oleh cara berbagi dengan baik sesuai dengan ajaran agama. Pemilik harta mengalami ketenangan dan ketenangan pikiran sebagai hasil dari keberkahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Anisa Nabila Zufa, 2020 dengan judul “Pandangan Al-Qur’an Terhadap Gaya Hidup Hedonisme”. Hasil review literature dalam penelitian ini menunjukkan Pertama, istilah “isrâf” digunakan untuk menggambarkan praktik hedonisme dalam padangan Sa„îd an-Nûrsî. Ia memaknai isrâf sebagai cinta dunia yang berlebihan. Kedua, Sa„îd an-Nûrsî mengatakan bahwa hedonisme adalah gaya hidup yang menyimpang dari prinsip dan tujuan hidup Allah SWT di dalam Al-Qur’an, yaitu hidup sederhana atau hemat. Tujuan Allah SWT menciptakan dunia untuk mengumpulkan amal baik. Jadi, Jika Anda ingin menghindari perilaku hedonisme, Sa„îd an-Nûrsî menyarankan Anda untuk memperkuat rasa syukur dalam diri Anda. Ketiga, fenomena yang terjadi pada zaman modern dan kemajuan teknologi sangat mirip dengan gaya hidup hedonisme menurut Sa„îd an-Nûrsî.manusia, yaitu berterima kasih atas semua kebaikan yang diberikan Allah SWT serta.

Penelitian yang dilakukan oleh Solahudin dengan judul “Rasulullah Adalah Nabi Yang Kaya”. Hasil dari review literature ini yang mana artikel ini membahas kekayaan Rasulullah, sumber pendapatan, dan hubungan antara kekayaan dan kesederhanaan hidupnya. Buku ini menunjukkan bahwa Rasulullah memiliki banyak harta, tetapi kedermawanan luar biasanya sering membuatnya terlihat sederhana, bahkan harus menahan lapar selama beberapa waktu karena tidak ada makanan. Selain itu, makalah ini menunjukkan bahwa harta dunia tidak benar-benar buruk; itu hanya akan menjadi buruk jika pemiliknya lupa untuk beribadah kepada Allah.

Penelitian yang dilakukan oleh Abu Bakar, 2020 dengan judul “Prinsip Ekonomi Islam Di Indonesia Dalam Pergulatan Ekonomi Milenial”. Hasil review literatur ini Dalam menjalankan bisnis dalam ekonomi Islam, para pelaku memegang prinsip-prinsip dasar, yaitu prinsip ilahiyah. Dalam ekonomi Islam, kepentingan individu dan masyarakat sangat terkait, dengan asas keselarasan, keseimbangan, dan bukan persaingan, yang menghasilkan ekonomi yang seadil-adilnya. Menurut prinsip ekonomi Islam, semua tindakan manusia, termasuk ekonomi, harus selalu bergantung pada Tuhan. Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara dunia dan akhirat, jadi mencari rizki harus baik dan halal. Secara umum, ekonomi Islam bergantung pada beberapa prinsip dasar, yaitu Alqur’an dan Sunnah, sebagai sumbernya. Sumber daya dianggap sebagai hadiah atau pemberian dari Allah, swt, kepada manusia. Islam membenarkan kepemilikan pribadi dengan syarat tertentu. Kerja sama adalah kekuatan utama ekonomi Islam. Meskipun zakat melarang riba, ekonomi Islam mencegah kekayaan yang dimiliki oleh segelintir individu.

Penelitian yang dilakukan oleh Asnaini, Riki Aprianto, 2019 dengan judul “Kedudukan Harta Dan Implikasinya Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis”. Dari hasil review lieterature pada jurnal ini Mengingat semakin banyaknya orang yang menyalahgunakan harta, masalah tentang kedudukan harta harus segera ditangani. Menurut Alquran dan Hadis, harta sepenuhnya dimiliki oleh Allah. Harta sebagai perhiasan yang membuat hidup lebih bahagia, sebagai ujian iman, dan sebagai bekal ibadah. Kondisi harta ini berdampak pada ketepatan pemanfaatannya. Ketika harta digunakan, itu harus selalu digunakan untuk mengabdikan diri kepada Allah atau sebesar mungkin untuk Taqarrub Ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). *

Exit mobile version