Pandangan dan Prinsip Ekonomi Syariah tentang Gaya Hidup  Orang Berharta/Kaya di Era Modern

Oleh : Rana Nurulita Handra (Program Pascasarjana Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar)
HIDUP berkelimpahan harta merupakan dambaan banyak orang. Dikatakan
bahwa seseorang sukses jika dia mempunyai harta dan kehidupan yang layak.
Pendidikannya juga dapat dinilai baik jika mampu mengantarkannya pada kesuksesan
finansial. Lalu bagaimana Islam dalam memandang kekayaan?
Secara garis besar, kekayaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menjalani gaya hidup saat ini tanpa harus bekerja. Tapi menjadi kaya itu relatif.
Beberapa orang dapat bertahan hidup bahkan setelah berhenti dari pekerjaannya.
Meskipun kondisi ini terutama didukung oleh kekuatan finansial dari pendapatan pasif
dan investasi masa lalu, beberapa orang yang berpenghasilan tinggi masih merasa kaya
karena gaya hidup mereka memengaruhi cara mereka membelanjakan kekayaannya.
Tidak ada salahnya ingin menjadi kaya. Padahal, mengejar harta disyariatkan
dalam Islam karena menandakan kebahagiaan dan usaha di dunia ini, sebagaimana
disebutkan dalam banyak ayat Al Qur’an, seperti: “Setelah selesai shalat, bertebarlah
dimuka bumi dan mohon rahmat Allah” (QS. Al Azab: 10). Dalam ayat yang lain, QS.
Al Mulk: 15 juga menyebutkan: “Dialah yang telah membuat bumi mudah bagimu
Maka berjalanlah di setiap sudut dan makanlah sebagian dari rezekinya”
Dari ayat ini Ibnu Kasir menafsirkan maknanya, yaitu melakukan perjalanan ke
tempat-tempat yang dikehendaki di muka bumi, melewati daerah-daerah dan daerah-daerah asing untuk berbagai penghasilan dan perdagangan.
Menurut H.A. Yunus (2019) dalam artikel berjudul “Konsep Hidup
Berkelimpahan dan Berkah” umat Islam boleh memiliki cita-cita untuk hidup kaya dan
sejahtera asalkan tujuan utamanya beribadah kepada Tuhan. Hal ini penting sebagai
landasan teologis atau landasan iman yang kuat. Jika kita mempelajari sejarah para
Rasul, ada satu Rasul yang diberi oleh Allah dengan harta yang berlimpah. Artinya
Allah tidak melarang hamba-Nya menjadi kaya. Namun tentunya kekayaan tidak
datang secara tiba-tiba, melainkan harus dikejar melalui usaha dan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengubah nasib.
Berikut beberapa hukum tentang kekayaan menurut Islam. Pertama, Wajib,
ketika seseorang berusaha mencari penghasilan untuk memenuhi dan memenuhi
kebutuhan dirinya dan keluarganya dari pada meminta. Kedua, Sunnah, ketika manusia
melakukan usaha untuk memberi nafkah tambahan dan penghidupan bagi keluarga atau
menyokong orang yang membutuhkan, menjaga silaturahmi, memberikan kehormatan
atau hadiah kepada sanak saudara, dan mencari harta untuk tujuan tersebut lebih utama
dari pada menghabiskan waktu untuk beribadah. Ketiga, Mubah (dibolehkan), bila
diberikan untuk kebutuhan tambahan atau untuk dekorasi dan kesenangan. Keempat,
Makruh, bila tujuannya adalah mengumpulkan kekayaan untuk menjadi sombong,
menyombongkan diri, menghibur sampai melampaui batas, sekalipun dicari dengan
cara yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah: “Barang siapa mencari dunia
yang halal dengan menyombongkan diri, berbangga dan menyombongkan diri, maka
dia akan menghadap Allah SWT ketika Allah murka kepadanya.” Kelima, Haram, jika
dicari melalui cara-cara yang haram seperti suap, riba dan lain-lain sebagaimana
dijelaskan dalam al Mausu’ah Al Fiqhiyah jus II halaman 11384-11385.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa kekayaan sesungguhnya terletak di dalam
dada. Hal ini menegaskan bahwa persoalan menyebut seseorang kaya atau miskin
adalah persoalan psikologis belaka. Sekalipun hartanya sedikit, ia tetap bisa merasa kaya karena dermawan dan selalu mensyukuri nikmat yang dimilikinya.
Seorang Muslim boleh mempunyai keinginan menjadi kaya asalkan niatnya
menguatkan agamanya. Namun Allah tidak mewajibkan seseorang untuk menjadi
kaya. Kewajiban mengejar kebahagiaan dirumuskan sedemikian rupa sehingga
manusia berusaha sesuai kemampuannya, dan hasil akhirnya adalah penghakiman
Tuhan.
Toha Andiko (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Konsep Harta dan
Pengelolaannya dalam Al Qur’an” menyatakan bahwa Harta sebagai milik pribadi
seseorang dimaksudkan sebagai pedoman budi pekerti dan sikap orang dalam,
memiliki, dan menggunakannya dengan cara yang benar. Harta sebagai milik bersama
Artinya setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperjuangkan kekayaan, bahwa
tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi peredaran harta dalam
lingkungannya, dan tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi peredaran
harta benda yang ada dalam lingkungannya, serta harta yang dimilikinya terdapat juga
bagian dari orang lain. Peranan harta adalah untuk memberikan ibadah, menunjang
kehidupan duniawi, menguji keimanan, menjadi pemimpin dan menjadi salah satu
permata kehidupan. Kekayaan tidak boleh diperoleh dengan cara yang dilarang Allah,
penggunaannya harus proporsional, dan pengelolaannya harus hati-hati, jujur, dan
transparan sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Pendapat tersebut didukung dengan yang dimaksud oleh penelitian dari
Muhammad Hambali (2021) dengan judul “Konsep Kepemilikan dan Distribusi
Pendapatan dalam Sistem Ekonomi Islam” menyatakan bahwa Keinginan manusia
akan kekayaan tidak lain hanyalah kebutuhan fisiknya untuk tetap eksis di dunia ini.
Selain mengandung unsur kemanusiaan, dorongan untuk mengumpulkan kekayaan
juga penting. Islam tidak melarang seseorang memperoleh harta, namun Islam hanya
mengatur mekanisme perolehan harta tersebut. Dengan kata lain, Islam mengakui
adanya hak milik individu. Selanjutnya Islam mengakui adanya hak milik umum dan
negara. Konsep distribusi pendapatan dalam sistem ekonomi Islam memerlukan dua hal agar keadilan sebagai prinsip ekonomi Islam dapat terwujud didalamnya.
Kekayaan juga merupakan amanah dari Allah dan harus dijaga semaksimal
mungkin. Wawasan ini dimaknai sebagai perintah untuk mempergunakan harta orang
yang beribadah kepadanya menurut caranya sendiri. Karena status harta dan kekayaan
tidak bisa sama atau lebih besar dari status keimanan dan ibadah kepada Allah SWT
sebagaimana tercantum dalam QS. Al Khaf : 46, yaitu : “Harta dan anak-anak adalah
hiasan kehidupan dunia ini, tetapi amalan yang kekal dan shaleh lebih baik pahalanya
di sisi Tuhanmu dan lebih baik harapannya.” Menurut Islam, kekayaan juga diartikan
sebagai jalan menuju kehormatan yang dimaksud QS. As Shaff: 10-12 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman! Apakah kamu ingin aku menunjukkan kepadamu
suatu perjanjian yang dapat menyelamatkan kamu dari siksa yang pedih? Harta dan
jiwa, bahwa lebih baik bagi kamu untuk mengetahui bahwa Allah pasti akan
mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga, yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai dan tempat tinggal yang baik di surga. Itulah
kemenangan yang besar”.
Kita tahu bahwa gaya hidup setiap orang berbeda-beda. Beberapa orang
menghargai kesederhanaan dan menjalani gaya hidup sederhana, sementara yang lain
mencari gaya hidup mewah. Ada dua gaya hidup yang terkenal: gaya hidup minimalis
dan gaya hidup hedonis. Seperti namanya, seorang minimalis adalah seseorang yang
memanfaatkan apa yang dimilikinya semaksimal mungkin dan memilih hidup
secukupnya. Umumnya orang dengan gaya hidup minimalis cenderung membeli
barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Sebaliknya, gaya hidup
hedonis adalah gaya hidup di mana mereka membeli barang-barang yang sebenarnya
tidak mereka perlukan, sehingga membuang-buang waktu dan uang.
Hedonisme adalah pandangan hidup seseorang yang tujuan hidupnya adalah
menikmati segala kesenangan dunia. Hedonisme yang merajalela di masyarakat
rupanya menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya dikalangan pelajar
namun juga dikalangan generasi muda dan pelajar. Gaya hidup awalnya hanya
dipertahankan oleh mayoritas orang-orang kaya, yang selalu memperhatikan suatu penampilan dan menikmati hidup sesuai keinginan dan tren yang ada. Meski gaya
hidup ini terkesan mewah dan nyaman, namun dampak hedonisme tidak selalu positif.
Hedonisme kini tersebar luas di Indonesia dan berdampak pada semua
kalangan. Tentu saja semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup penuh
kesederhanaan dan tanpa berlebihan. Islam adalah agama yang memadukan Syamil
(menyeluruh) dan Kamil (lengkap). Sebagai agama suci, Islam mengatur berbagai
aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur ritual, adat istiadat (akhlak), dan detil
ibadah. Namun Islam telah mengatur permasalahan Muamalah seperti politik,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, dan hukum. Salah satu caranya adalah
dengan mengajarkan masyarakat untuk bertindak dan hidup sederhana, menghindari
segala pemborosan dan kelebihan.
Salah satu sikap yang dianggap boros adalah konsumerisme. Secara umum
konsumsi dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak mempunyai prioritas yang
jelas dan mengutamakan keinginan dibandingkan kebutuhan. Perilaku ini mungkin
tidak menjadi masalah jika kita harus melakukan banyak pengorbanan untuk menjalani
gaya hidup. Padahal, barang dan jasa yang digunakan tidak terlalu dibutuhkan.
Semuanya dilakukan hanya untuk memenuhi keinginan pribadi.
Selaras dengan yang disampaikan oleh Hasnidar Thamrin dan Adnan
Achruddin Saleh (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Gaya
Hidup Hedonis dengan Perilaku Konsumtif pada Mahasiswa” yang menyatakan bahwa
Perilaku hedonis gaya hidup dan perilaku konsumen saling berkaitan. Semakin tinggi
gaya hidup hedonis maka semakin tinggi pula perilaku konsumennya. Artinya, jika
Anda menjalani gaya hidup hedonis, Anda akan menjadi konsumtif.
Tidak ada salahnya menginginkan sesuatu dalam hidup. Dalam Islam tidak ada
larangan bagi umatnya yang menginginkan barang halal. Ketika kita sudah memiliki
barang yang berfungsi dengan baik namun masih merasa tidak puas dan cenderung
mengabaikannya, kita mesti bertanya pada diri sendiri apa yang menjadi fokus hidup sebenarnya. Saat kita merasakan keinginan untuk memperoleh sesuatu, pikirkan baikbaik sebelum mengambil keputusan. Apakah memang perlu atau hanya sekedar anganangan saja? Tanyakan juga mengapa mereka membutuhkan produk tersebut. Apakah hal ini benar-benar bermanfaat dan layak untuk diluangkan waktu dan sumber daya
yang dikeluarkan? Kita semua mempunyai waktu dan sumber daya yang terbatas.
Untuk mendapatkan manfaat maksimal, habiskan waktu kita pada hal yang benar-benar
penting.
Menurut Nabi Muhammad SAW, kekayaan dalam ajaran Islam tidak berarti
kekayaan yang besar. Orang yang benar-benar kaya adalah orang yang berkecukupan
(At-Tirmidzi 2373). Apakah Anda ingin sukses? Nabi Muhammad SAW mengartikan
sukses itu ada tiga syaratnya: penerimaan Islam, bisa mendapat rizki yang cukup, dan
merasa puas dengan apa yang dimiliki. (Muslim 1054).
Dampak negatif modernisasi merupakan fenomena yang banyak terjadi di
masyarakat saat ini, suatu gejala yang terjadi pada berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, modernisasi tentunya dapat memberikan dampak. Entah itu dampak
positif atau negatifnya. Apa dampak positif dan negatif modernisasi?
Pemicu atau pendorong kuat hedonisme brutal modern ini adalah gaya hidup
modern yang menggunakan produk-produk teknologi. Misalnya, orang ingin ponsel
mewah, merasa malu jika tidak bisa membeli mobil, dan merasa minder dengan
tetangganya jika tidak memiliki TV besar. Kaum hedonis tidak malu melakukan
perilaku menyimpang karena ketidakpuasan, melainkan karena tidak bisa mendapatkan
apa yang diinginkannya.
Hal tersebut didukung dengan penelitian dari Eka Sari Setianingsih (2018)
dengan judul penelitian “Wabah Gaya Hidup Hedonisme Mengancam Moral Anak”
yang menyatakan bahwa Belakangan ini pelajar Indonesia yang terjangkit virus
hedonisme. Kebutuhan siswa untuk belajar atau mencari informasi dalam kehidupan
sehari-hari mengubah orientasinya terhadap pencarian kesenangan dan kemewahan sehingga membentuk kebiasaan buruk. Salah satu pilihannya adalah menjadikan
hedonisme sebagai tren dalam hidupnya. Karena asyiknya memprioritaskan gaya
hidup, siswa kehilangan kreativitas dan motivasi belajar. Seiring berjalannya waktu,
munculah kebiasaan aneh di kalangan anak-anak dan remaja. Hedonisme sebuah
doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal terpenting dalam hidup.
Seperti pada contoh sebelumnya, siswa berpakaian tidak pantas dan lebih
mementingkan gaya hidup (fashionable). Tentu saja hal ini cenderung meremehkan
tujuan mulia pendidikan di negeri ini, yaitu mencerdaskan kehidupan masyarakat,
namun faktanya moral siswa semakin hari semakin terpuruk.
Hedonisme juga terjadi di dunia birokrasi. Mengapa banyak sekali kasus
korupsi, dan apakah pelakunya adalah pejabat pemerintah yang kaya raya? Karena
mereka tidak cukup tahu tentang apa yang sudah mereka miliki. Hal ini tidak
mengherankan, karena manusia tidak pernah mencapai puncak kegunaan materialnya.
Kalau dapat 1 juta, maunya 2 juta. Saya mendapat 2 miliar, tapi kemudian saya ingin 5
miliar. Dan seterusnya, menurut realitas manusia. Karena keinginan manusia tidak ada
batasnya. Rasulullah SAW bersabda bahwa manusia tidak pernah merasa puas,
sehingga keinginan yang tidak terbatas adalah hal yang wajar. Jika dia diberi sebuah
lembah yang berisi emas, maka dia akan meminta tiga lembah hingga dia masuk ke
dalam kubur.
Salah satu dampak negatif modernisasi adalah masyarakat mengikuti
kecenderungan dan gaya hidup yang buruk yaitu disebut hedonisme. Faktor yang
mempengaruhi gaya hidup hedonis ini adalah pertama, orang tua, saudara, teman buruk
di sekitar, dan yang kedua, faktor membaca yang dapat mempengaruhi atau mencuci
otak seseorang. Ketiga, adanya pengaruh media sosial dan program televisi yang
terkesan mengajarkan dan mendorong masyarakat beralih ke kebiasaan hedonis.
Berbagai kesalahpahaman tersebar luas di masyarakat kita bahwa “untuk
mendapatkan rizki haram saja susah apalagi untuk mendapatkan rezki yang halal”.
Oleh karena itu, banyak orang mengambil jalan pintas dan jalan memutar untuk
mencari nafkah. Padahal kita adalah orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan.
Inilah Allah SWT. Dia memberi rizki kepada semua makhluknya. Kita manusia harus
memikirkan bagaimana cara mendapatkan rizki tersebut.
Sesungguhnya ukuran kekayaan dalam Islam tidak hanya bersifat materi,
melainkan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Kekayaan
bukan berasal dari banyaknya harta, namun kekayaan adalah kekayaan hati”. (HR.
Bukhari dan Muslim). Lalu mengapa kita begitu ambisius mengejar kekayaan materi
dengan cara yang tidak lazim? Bukankah kekayaan rohani adalah harta yang lebih
berharga? Kita harus mempunyai prinsip dan keyakinan yang jujur dan qona’ah,
bekerja keras dan mendambakan hidup yang berkah.
Islam menawarkan kesempatan kepada manusia untuk menjadikan kehidupan
di dunia berkelanjutan secara material. Namun ingatlah bahwa dunia bukanlah tujuan
akhir kita. Dunia ini merupakan “tempat bersedekah (ladang amal)” yang menentukan
masa depan seseorang setelah kematian. Surga atau neraka adalah keputusan yang kita
ambil di dunia berdasarkan amal amal kita.
Allah SWT. menegaskan dalam salah satu firman-Nya: “Maka janganlah kamu
kekurangan kehidupan dunia.” (QS. Luqman: 33). Allah SWT menegaskan bahwa
kehidupan dunia hanyalah lelucon dan permainan. Oleh karena itu, masyarakat
hendaknya berhati-hati terhadap perhiasan dan berbagai keindahan duniawi. Akhirat
lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al An’am: 32).
Dari sudut pandang agama, dunia tidak lain adalah magnet wisata. Keberadaan
manusia hanya bersifat sementara. Manusia harus menyadari bahwa suatu saat mereka
akan kembali kepada Allah hanya dengan satu syarat: perbuatan yang menjadi tanggung jawab mereka. Atas dasar apa manusia harus mencurahkan seluruh
perhatiannya terhadap tempat wisata dunia?
Penganut hedonis mencari kebahagiaan palsu dalam hidup, atau sekadar
khayalan belaka. Mereka lupa bahwa hakikat hidup adalah mencari kehidupan akhirat
yang sebaik-baiknya. Yang mereka lupakan dengan slogan “Kamu hanya hidup sekali
dan kamu hanya mati sekali”. Hidup bukanlah lelucon. Kita harus paham bahwa
hedonisme bisa meracuni seseorang. Tidak hanya menyerang generasi muda yang
sedang tumbuh, orang tua yang sudah lanjut usia tentu juga tidak luput dari fitnah
hedonis. Gaya hidup hedonistik merupakan virus yang berbahaya untuk diwaspadai
karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Hedonisme menekankan kesenangan
pribadi dalam mencapai kepuasan dengan cara atau sarana apa pun yang diperlukan.
Penyakit ini tidak bisa kita jinakkan kecuali kita terbuka dan siap kembali pada
ajaran dan tuntunan agama. Berlindung saja kepada Allah dan perkuat diri dengan
kesabaran, doa, syukur, dan qona’ah agar virus hedonisme tidak semakin meluas.
Jangan sampai kita terkecoh dan meyakini bahwa menurut pedoman Islam, kebutuhan
dasar manusia bukanlah kebutuhan jasmani, melainkan kebutuhan ruhani berupa
keimanan yang menjadi landasan utama pengembangan potensi manusia. Jangan
pernah mengatakan kita tidak membutuhkan agama di masa kecil. Padahal, Islam
menganjurkan agar orang tua mendidik anaknya sejak dalam kandungan dan
membesarkannya agar bertaqwa kepada Allah SWT berdasarkan tuntunan Al Quran dan Sunnah. *
Exit mobile version