Pandangan dan Prinsip Ekonomi Syariah Tentang Upah dan Perburuhan/Tenaga Kerja

Oleh : Asrul Gustomi (Program Pascasarjana Jurusan Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar)
ISLAM menyebut Upah yaitunya Ujrah yang dihasilkan dari akad Ijarah. Menurut ulama’ Hanafiyah Ijarah merupakan transaksi tentang sseuatu manfaat dengan imbalan tertentu yang perbolehkan. maka upah diartikan yaitu bentuk kompensasi atas jasa yang sudah dilakukan oleh para tenaga kerja. Dalam Al Qur’an upah dijelaskan secara menyeluruh dalam salah satu ayat yakni sebagai berikut:
Yang artinya: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan  (QS. Al Taubah, 9: 105)
Ayat dalam surah ini memberikan penjelasan bahwasanya menurut konsep Islam, upah terdapat dari dua bentuk yaitu upah dunia dan upah akhirat. Dengan kata lain, ayat ini menjelaskan upah dengan imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia dan imbalan yang berupa pahala untuk di akhirat nantinya. Imbalan upah yang diterima para pekerja ketika di dunia haruslah adil dan juga layak, sedangkan imbalan pahala di akhirat adalah imbalan yang lebih bagus yang diterima oleh seorang muslim- muslimah dari Tuhan-nya yakni Allah SWT.
Upah dalam Islam sering disebut dengan kata jaza’ (balasan atau pahala) sebagaimana sering dijumpai dalam firman Allah yakni Alqur’an diantaranya surah An Nahl,1 ayat 97 berikut ini:
” Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Dikuatkan dalam ayat ini bahwasanya laki-laki dan perempuan dalam Agama mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Kata “walanajziyannahum” dalam ayat ini memberikan defenisi bahwasanya bagi yang bekerja akan memperoleh imbalan baik di dunia maupun di akhirat. Ini menegaskan bahwasanya Allah akan memberikan balasan atau imbalan bagi baik laki-laki maupun perempuan yang beramal soleh dengan imbalan di dunia dan di akhirat nantinya.
Dalam hadits Nabi banyak menerangkan mengenai upah, diantara hadits tersebut yaitu yang pertama dijelakan bahwa “Ada tiga orang yang akan didakwa Allah besok di hari Kiamat, diantaranya adalah seseorang yang mempekerjakan buruh dan mereka tidak membayar upahnya.” (HR. Bukhari) kemudian, Nabi SAW juga bersabda; “Barang siapa yang mempekerjakan buruh, maka beri tahulah mereka tentang kadar upahnya.” (HR. Baihaqi) Nabi SAW juga mengatakan; “Barang siapa melakukan pekerjaan untukku (Nabi) dan baginya tidak mempunyai rumah, maka ambillah rumah, atau dia belum beristri, maka menikahlah atau dia tidak memiliki kendaraan, maka ambillah kendaraan.”
Selanjutnya (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Nabi SAW juga bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah) Dan Nabi SAW juga bersabda yang diriwayatkan oleh imam Muslim; “Hamba sahaya (yang bekerja) hendaknya diberi makan dan pakaian.” (HR. Muslim)
Di masa Rasulullah SAW. mengatur beberapa prinsip dasar sebagai tolak ukur untuk menentukan upah pegawai pemerintah Islam sebagaimana yang dijelaskan sebuah hadits. Hadits tersebut yakninya “Bagi seorang pegawai negeri, jika ia belum menikah sebaiknya ia menikah, jika ia tidak memiliki pelayan, hendaklah ia memiliki pelayan, jika ia tidak memiliki tempat tinggal untuk ditempati, maka ia boleh membangun sebuah rumah dan orang-orang yang melampaui batas-batas ini, maka ia adalah perebut tahta (pencuri).” (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya disimak pada masa Khalifah Umar bin Khatab telah menjelaskan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan distribusi bantuan atau pembayaran tunjangan. Perbedaan upah telah terjadi dari pada zaman Rasulullah SAW. Di saat tahun pertama hijrah, para sahabat yang ikut berperang di perang Badar dan Uhud memperoleh tunjangan terkecil 200 Dirham dan tunjangan terbesar 2000 Dirham diwaktu itu.
Ketika masa kekhalifahannya, Umar bin Khattab mengatur upah untuk para pegawai pemerintah berdasarkan situasi suatu kota dan kebutuhan pribadi mereka. Tindakan Umar tersebut bisa kita ambil sebagai contoh untuk mengatur standar gaji menurut kebutuhan pokok masyarakat karena di masa sekarang melunjak kebutuhan tambahan seperti kebutuhan transportasi, pendidikan, kesehatan dan yang lain sehingga gaji atau upah haruslah selaras dengan faktor-faktor berkaitan seperti inflasi, biaya kesehatan, dampak pengangguran dan lain sebagainya.
Konteks ini yang oleh ahli ekonomi Barat disebut dengan konsep equal pay for equal job. Sedangkan konsep upah dalam Islam harus layak, maka maksudnya adalah kelayakan upah yang diterima oleh pekerja harus dilihat dari tiga aspek, yaitu; papan, pangan dan sandang. Artinya hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan formal, tetapi pekerja sudah dianggap sebagai keluarga majikan. Konsep inilah yang membedakan antara konsep upah menurut ekonomi barat dengan konsep upah menurut ekonomi Islam.
Layak dalam konsep upah pekerja juga dapat diartikan dengan sesuai pasaran. Maksudnya, janganlah seseorang itu merugikan orang lain dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dengan kata lain, janganlah mempekerjakan seseorang dengan upah yang jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Ini karena upah dalam Islam berkaitan dengan moral, pemberian upah dibawah batas minimum berarti bertentang dengan moral sehingga dimensi akhirat tidak akan diperoleh majikan yang memberi upah dibawah stadar minimum
Berbicara mengenai Upah, terkandung rukun dan syarat yang wajib terpenuhi dalam hal pengupahan yang digunakan. Diaturnya rukun dan syarat bermaksud untuk memberikan suatu kejelasan dalam mempekerjakan seseorang di sebuah usaha, hal ini sudah menjadi kewajiban yang harus diterapkan pada berbagai macam bentuk usaha.
Akad sangat diperlukan dalam ekonomi Islam untuk menentukan ke mana arah serta jalannya mekanisme pengupahan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak yang menjalin hubungan kerja, baik majikan ataupun tenaga kerja. Rukun dan syarat yang harus ada pertama sekali adalah terdapatnya orang yang berakad yakni mu’jir dan musta’jir.
Mu’jir dan musta’jir dalam hal ini dimaksudkan, mu’jir yaitunya orang yang mengasih upah atau yang biasa kenal sebagai majikan dalam pekerjaan, kemudian musta’jir yaitunya orang yang bekerja atau mendapatkan upah. syarat para mu’jir dan musta’jir ini ada beberapa juga ketentuan dyang harus terpenuhi diantaranya yaitu baligh, berakal, bisa mengendalikan harta dan saling meridhai. Kemudian juga, harus adanya ujrah yang disyaratkan ujrahnya harus diketahui oleh kedua belah pihak tersebut.
Ujarah yang merupakan upah dari yang telah dilakukan harus disepakati bersama. Ujrah ini juga harus diketahui secara pasti ujrahnya. Ijab dan qabul ini dilakukan diawal kerja para pekerja dimana shigot juga dapat dijadikan kontrak kerja antara kedua pihak. Untuk pemenuhan adanya rukun dan syarat ijarah antara mu’jir dan musta’jir pada akad ijarah menjadi sah, yaitu dengan adanya kedua belah pihak yang melakukan transaksi kerjasama baik mu’jir ataupun musta’jir.
Rukun yang terakhir dalam ijarah adalah terdapat manfaat yang jelas dalam objek yang dijadikan upah-mengupah. dimana barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upahmengupah, diisyaratkan pada barang pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat diantaranya objek akad dalam upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya, benda yang dijadikan objek juga harus dapat diserahkan kepada pekerja berikut kegunaanya.
Qur’an melalui kisah Nabi Musa a.s, yang bekerja di rumah Nabi Syu’aib, a.s. (QS. Al Qashash28: 27) berikut ini:
” Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”.
serta memberikan upah yang layak dan tepat waktu kepada buruh. Sedangkan kewajiban moral seorang buruh terhadap majikan Islam memberikan tuntunan agar setiap buruh menghormati majikan dengan cara melaksanakan segala kewajiban yang telah terikat dengan majikannya.
Kajian ini relevan dengan beberap kajian il;miah yang juga sudah di tulis dari beberapa penulis terdahulu dianatanya adalah jurnal Syindyatul Mulyadi dengan judul jurnal “analisis sistem pengupahan dalam perspektif ekonomi islam studi kasus di home industri sandal desa toyomarto singosari pada tahun 2017. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa sistem pengupahan yang digunakan dalam home industri sandal adalah sistem pengupahan borongan. Selain itu sitem pengupahan yang digunakan sudah sejalan dengan prinip-prinsip ekonomi Islam. Berdasarkan konsep upah yang adil dalam Islam sistem pengupahan dalam home industri sandal di Desa Toyomarto juga dapat dikategorikan memiliki konsep tersebut. Dibuktikan dengan upah yang dibayarkan kepada para pekerja berbeda-beda jumlahnya harus berdasarkan tanggung jawab dan jenis pekerjaan yang dipikulnya.
Selanjutnya juga selaras dengan penelitian oleh Muhammad Syahrul Hidayat dan Agus Eko Sujianto tahun 2023 dalam jurnalnya yang berjudul “meninjau upah buruh tani dalam perspektif ekonomi islam studi kualitatif tentang keadilan dan kesejahteraaan”. Penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani sering menghadapi upah yang rendah dan tidak memadai, yang berdampak negatif pada kesejahteraan mereka dan keluarga. Dalam perspektif ekonomi Islam, upah buruh tani yang adil dan memberikan kesejahteraan adalah penting untuk mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Penelitian ini menyediakan wawasan tentang bagaimana prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diterapkan dalam sistem upah buruh tani untuk mencapai keadilan dan meningkatkan kesejahteraan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan kebijakan yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan buruh tani dalam konteks ekonomi Islam.
Dilihat dalam tulisan yang dibuat oleh Murtadho Ridwan tahun 2013 dengan judul “standar upah pekerja menurut sistem ekonomi islam”. Hasil  dalam jurnalnya dikatakan bahwa penentu upah dalam sistem ekonomi modern adalah hukum permintaan dan penawaran buruh seperti yang dijelaskan oleh hukum permintaan dan penawaran. Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam tidak mengakui hal itu, akan tetapi upah yang didapatkan pekerja berdasarkan atas kemampuan kerja dan upah tersebut harus bisa memenuhi kebutuhan pokok yang telah diterangkan, yaitu meliputi papan, pangan dan sandang bagi pekerja di sebuah perusahaan.
Terakhir sejalan juga kajian yang berjudul “Pandangan Dan Prinsip Ekonomi Syariah Tentang Upah Dan Perburuhan/ Tenaga Kerja” ini dengan tulisan ilmiah yang diselesaikan oleh Havis Aravik pada tahun 2018 yang berjudul konsep buruh dalam perspektif islam. Dalam tulisannya  dijelakskan bahwa Islam memandang buruh sebagai Anda yang harus diperlakukan sebaik mungkin oleh majikan. Kemudian instruksikan setiap majikan untuk memperlakukan pekerja dengan baik, dalam bentuk menghormati dan mempertahankan dan bersikap ramah dan menjaga dari memperlakukan pekerja secara tidak terhormat. Islam juga mewajibkan pemberi kerja untuk menyediakan beban kerja yang tidak melebihi batas kapasitas kerja. Dan kewajiban moral seorang pekerja kepada majikan adalah menghormati majikan dengan melaksanakan semua kewajiban yang telah diikat oleh majikannya. *
Exit mobile version