Makna Upah Dalam Pandangan Ekonomi Islam

Oleh : Nelma Husni (Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar)
SALAH satu komponen kunci dari empat elemen produksi, tenaga kerja terkait erat dengan teori upah dan tenaga kerja (Sadono, 2009: 192). Ketidakpuasan pekerja terhadap pemerintah dan pengusaha dipicu oleh adanya kesenjangan antara upah yang ditetapkan dengan upah yang diinginkan atau diusulkan oleh mereka. Sebab, upah yang ditetapkan jauh di bawah nilai kecukupan, suatu keharusan yang harus ditetapkan oleh seluruh lembaga negara (Abdul, 1993: 118). Masalah gaji ini mempunyai dampak yang luas; hal ini dapat menurunkan daya beli dan berdampak buruk pada tingkat kehidupan pekerja. Upah disebut sebagai ujrah dalam ekonomi Islam, dan diskusi ekonomi tambahan sering kali menghubungkan istilah ini dengan kontrak kerja yang ditandatangani. Ekonomi Islam secara ketat menyesuaikan diri dengan konsep kecukupan dan keadilan ketika menetapkan upah untuk tenaga kerja. Prinsip dasar keadilan adalah komitmen yang didasarkan pada kesediaan untuk berbuat dan kejelasan kontrak (transaksi).
Pengertian Upah
Upah dalam teori ekonomi tradisional
Yang dimaksud dengan imbalan adalah penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima pekerjaan sekaligus imbalan baik bagi pekerja itu sendiri maupun keluarganya. (Winarmi dan G. Sugiyanso, n.d.). Dalam hal ini, upah lebih dilihat sebagai kompensasi bagi pekerja informal yang lebih bergantung pada kekuatan fisik. Besarannya biasanya ditentukan secara harian atau berdasarkan satuan kerja yang dilakukan.
Upah Menurut Ekonomi Islam
Upah adalah pembayaran yang diberikan pengusaha kepada pekerja atas partisipasinya dalam proses produksi (Sulaiman, 2010: 390).
Islam selalu berusaha memberikan solusi untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja, mewujudkan hak-hak pekerja yang tercermin dalam terjaminnya upah yang memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Dan jika gaji yang diterima pekerja sangat rendah maka akan berdampak pada menurunnya daya beli sehingga menurunkan permintaan barang dan jasa dalam perekonomian, dan hal ini otomatis berdampak pada volume produksi yang pada akhirnya berdampak pada pengusaha dan modal, dalam hal ini hasil yang semakin berkurang. Jika gaji berada di bawah batas minimum, negara mempunyai hak hukum untuk melakukan intervensi dalam menetapkan gaji yang disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Kebijakan penetapan standar pengupahan yang layak bagi pekerja diperbolehkan karena alasan yang mendasar, yaitu perlindungan keadilan, yang menghendaki terwujudnya hubungan yang seimbang antara pengusaha/pengusaha dan pekerja/pegawai.
Penjelasan Surat Al Ahzab: 29 dan At Taubah: 105
Sesuai dengan sabda Rasulullah yang berbunyi : ”perlakukanlah saudaramu sesama muslim seperti apa yang kamu perlakukan terhadap dirimu sendiri” sehingga kamu beriman dan mengharap ridha Allah dalam pengabdian kepada manusia. Allah berfirman dalam surat Al Ahzab: 29 adalah sebagai berikut:
Yang artinya: “Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar”.
Berdasarkan asas keadilan, upah dalam masyarakat Islam ditentukan melalui perundingan antara pekerja, pengusaha, dan negara. Dalam pengambilan keputusan mengenai pengupahan, kepentingan pencari nafkah dan pemberi kerja akan dipertimbangkan secara adil. Menurut pandangan Ibnu Taymiyaha, penentuan upah menggunakan istilah yang artinya (tingkat upah di pasar tenaga kerja/pasar taruhan). Dalam menentukan upah sebagai harga tenaga kerja, asas dasar yang digunakan untuk mengkajinya adalah pengertian yang utuh mengenai kualitas dan kuantitas tenaga kerja. Upah yang sama ditentukan oleh harga yang setara.
Dalam kondisi normal, penentuan upah didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Namun kriteria pasar yang disebutkan Ibnu Taimiyah adalah pasar yang bebas dan adil sehingga persaingan berjalan sempurna dan tidak terdistorsi oleh nilai-nilai Islam. Islam sangat melindungi hak-hak pengusaha dan pekerja. Untuk melindungi karyawan dan haknya, agar gaji tidak turun jauh di bawah batas terendah dan tidak terjadi kenaikan gaji di atas batas tertinggi demi melindungi kepentingan pengusaha. Oleh karena itu, upah riil bervariasi antara kedua batasan tersebut, berdasarkan hukum properti dan permintaan tenaga kerja, berdasarkan standar hidup sehari-hari sekelompok pekerja yang mempengaruhi efektivitas kekuatan organisasi. Jika gaji itu untuk pekerjaan, maka gaji itu harus dibayarkan pada akhir hubungan kerja. Jika tidak ada pekerjaan lain. Gaji dapat berakhir karena pemenuhan manfaat kontrak dan pemutusan kontrak.
Dalam surat At Taubah: 105 adalah sebagai berikut:  “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” .
Imbalan yang dibayarkan pada awal masa sebelum pelaksanaan pekerjaan, dapat dibayarkan sepanjang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang merupakan salah satu syarat akad, kecuali telah menjadi penyesuaian yang sah. Berdasarkan kriteria yang menjadi dasar hukum sistem penggajian, dapat dikatakan bahwa gaji harus dibayarkan menurut kesepakatan para pihak dan berdasarkan itikad baik, tidak ada kewajiban. Sehingga pengusaha/pengusaha dan pekerja/karyawan dapat bekerja secara maksimal.
Dalam hadist Riwayat Ibnu Majah Nabi SAW bersabda “kewajiban para majikan hanya menerima pekerjaan yang sudah dilakukan oleh para karyawannya, janganlah memperkerjakan mereka sedemikian rupa sehingga berakibat buruk bagi kesehatannya”.
Selanjutnya dalam artikel yang berjudul Hakikat Upah dalam Hubungan Ketenagakerjaan oleh (Hasaziduhu Moho, 2022) Penghancuran hakikat upah telah menjadi bagian yang penting (esensial) dalam kehidupan seseorang (pekerja) karena berkaitan langsung dengan hakikat kemanusiaan yang berdasarkan pada keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan berbagai peraturan ketenagakerjaan yang ada diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan dasar masyarakat yang cenderung berubah, berkembang dan berdaya saing. sesuai dengan perkembangan itu sendiri. Pertanyaannya apakah remunerasi dalam hubungan kerja sudah sesuai dengan keadilan hukum dan keadilan sosial? Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan analitis dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Temuan penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pekerja dalam mengelola ilmu pengetahuan dan teknologi serta melakukan pemantauan dan evaluasi peraturan ketenagakerjaan secara berkala. Jika hal ini tidak terjadi, maka kaum buruh akan tetap lemah dan pada akhirnya penghidupan, pekerjaan dan upah layak yang ditetapkan dalam UUD 1945 tidak akan pernah tercapai.
Teori “Produk Upah marjinal ditentukan oleh keseimbangan antara kekuatan permintaan dan aksesoris. Menyediakan pasokan tenaga kerja dalam jangka panjang merupakan kebutuhan kerja yang panjang dan berkelanjutan dalam kerangka masyarakat kapitalis yang berasal dari pengusaha yang mempekerjakan pekerja dan faktor-faktor produksi lainnya untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis. Selama output bersih tenaga kerja lebih besar di atas tingkat gaji tersebut. Majikan memang mempekerjakan lebih banyak pekerja ditambah batas di mana Anda membayar menggunakan lebih banyak unit tenaga kerja. Gaji atau upah merupakan hak kepuasan finansial bagi pekerja yang merupakan suatu kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh pemberi kerja atau partai politik yang mempekerjakannya dan betapa pentingnya pekerja dan membayar, Islam memberi kepada pihak yang berkepentingan menggunakan prinsip ini Gaji harus mencakup dua hal, yaitu adil dan memadai.
Ajaran Islam direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang dengan tegas menyatakan sikapnya yang anti perbudakan, membangun tatanan yang toleran dan kehidupan sosial yang adil. Islam tidak mentolerir perbudakan sistem ini dengan alasan apapun. Selain itu, kebijakan jual-beli yang berlaku pada buruh dan pengabaian terhadap hak-hak buruh sangat tidak menghormati martabat kemanusiaan. *
Exit mobile version