Guna membahas pertanyaan dan kritik demikian, supaya objektif, tentu kita harus menggunakan indikator dan data statistik yang lazim. Misalnya dari indikator makro (umum) yang merupakan indikator gabungan (komposit) dari berbagai kegiatan pembangunan ekonomi maupun sosial. indikator makro pembangunan bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan perkapita, penurunan jumlah penduduk miskin, angka pengangguran dan lain-lain. Sedangkan indikator sosialnya antara lain bisa dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Karena yang sedang hangat sekarang adalah isu berkaitan dengan Pilkada atau Pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2024 yang tinggal enam bulan (27 November 2024), saya secara khusus hanya ingin melihat capaian pembangunan Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Mahyeldi-Audy (sejak 2021). Berbeda dengan periodisasi jabatan gubernur sebelumnya, khususnya periode Mahyeldi-Audy hanya efektif selama tiga tahun, karena ketentuan Pilkada 2024.
Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat 2021 – 2003 tercatat masing-masing 3,29 persen, 4,36 persen, dan 4,62 persen, sedikit di bawah pertumbuhan nasional yang masing-masing 3,69 persen, 5,31 persen, dan 5,01 persen dalam periode yang sama. Namun pertumbuhan ekonomi Sumbar 2023 (4,62 persen) itu sedikit lebih tinggi dibandingkan target RPJMD yang 4,57 persen. Khusus pertumbuhan 2023, juga lebih tinggi dibandingkan provinsi tetangga Riau (4,21 persen), Bengkulu (4,21 persen), namun sedikit lebih rendah daripada Jambi (4,66 persen) dan Sumatera Utara (5,01 persen).
Dalam hal pendapatan perkapita sebesar Rp50,25 juta (2023), Sumatera Barat yang tidak memiliki industri besar dan sumber daya alam seperti minyak, gas dan mineral lainnya, memang berada di bawah nasional sebesar Rp75,0 juta. Tapi PDRB per kapita Sumatera Barat masih lebih tinggi dibandingkan Aceh (Rp38,9 juta), Bengkulu (Rp43,75 juta), dan Lampung (Rp44,9 juta). Bahkan dibandingkan Provinsi Jawa Barat (Rp49,4 juta) yang banyak ditopang industri besar, per kapita Sumbar ternyata agak lebih baik.
Namun, kalah dalam hal pendapatan per kapita, Sumatera Barat lebih baik dalam pemerataan pembangunan dan tingkat kemiskinan. Dengan angka Gini Rasio 0,28 (terendah di Indonesia: 0,38), Sumatera berhasil menekan tingkat kemiskinan dari 6,56 persen tahun 2020 menjadi 5,95 persen tahun 2023. Angka ini jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional 9,36 persen, dan posisi Sumatera Barat tercatat terendah nomor 6 di Indonesia dan paling rendah di antara 8 provinsi di Pulau Sumatera.
Di bidang pembangunan sosial, sebagai akumulasi dari capaian di bidang pendidikan dan kesehatan yang menghasilkan kualitas SDM, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Sumatera Barat ternyata termasuk paling tinggi di Sumatera dan Indonesia umumnya. Dengan IPM 75,64 (meningkat dari 74,29 tahun 2020), Sumatera Barat menempati posisi kedua tertinggi di Sumatera (di bawah Kepri), dan nomor 7 tertinggi secara nasional (rata-rata nasional 74,39).
Dari berbagai indikator pembangunan makro tersebut, kita semua bisa menarik kesimpulan apakah Sumbar maju atau mundur, atau stagnan saja, dalam beberapa tahun terakhir ini.
Lalu bagaimana pula capaian Sumatera Barat di bidang-bidang lain, seperti pembangunan infrastruktur. Keluhan atau kritik mengenai banyaknya jalan nasional dan jalan provinsi yang mengalami rusak berat, dan lambatnya realisasi pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru pada seksi-seksi wilayah di Sumatera Barat, tentu perlu pula dikaji dan dibahas. Karena keterbatasan ruang, Insya Allah soal ini akan kita ulas dan bahas dalam tulisan berikutnya. (*)