Sumatera Barat Maju atau Mundur?

Krisis SDM yang berkualitas menjadi salah satu refleksi peting dalam kemajuan Sumatra Barat saat ini. IST

Krisis SDM yang berkualitas menjadi salah satu refleksi peting dalam kemajuan Sumatra Barat saat ini. IST

Catatan Hasril Chaniago

Wartawan Senior

Salah satu keistimewaan masyarakat Sumatera Barat atau orang Minang adalah memiliki sikap dan daya kritis yang tinggi. Melebihi masyarakat provinsi atau suku bangsa lain di Indonesia. Selain itu, seiring sikap kritis tersebut, mereka juga memiliki rasa curiga yang kadang berlebihan. Gubernur Sumatera Barat (2005-2009) dan Mendagri RI (2009-2014) Gamawan Fauzi saya catat pernah beberapa kali mengatakan kalimat begini: “Baganti sajo sipatu wak, pasti ado kawan yang berkomentar, ‘dima lo takicuah wak tadi ko’.”

Sikap kritis dan terbuka adalah ciri masyarakat egaliter yang lekat dengan budaya orang Minang. Bagi mereka berlaku pandangan tagak samo tinggi, duduak samo randah. Pemimpin hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan sarantiang. Tidak ada istilah “the king can do no wrong”; raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah. Jadi kritik atau sanggahan terhadap pemimpin adalah hal biasa. Bagian dari budaya dan keseharian masyarakat.

Bila kita memahami karakter dasar atau ciri khas masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas suku bangsa Minangkabau ini, tentu bukanlah hal aneh bila banyak kritik yang ditujukan kepada pemimpin daerah, katakanlah kepada Gubernur. Bukan hanya kritik, bahkan juga cimeeh, sikap melecehkan atau merendahkan. Gubernur Harun Zain (1966-1977) dalam buku memoarnya Tokoh yang Berhati Rakyat (1997) bahkan terus terang mengakui, salah satu tantangan yang beliau hadapi di awal kepemimpinannya adalah cimeeh dan sikap menganggap remeh dari sebagian masyarakat. Bahkan di kampungnya sendiri, Pariaman, Harun Zain juga “marasai”’ kena cimeeh.

Belakangan, katakanlah satu dekade terakhir, kritik dan cimeeh kepada pemimpin, khususnya kepada Gubernur (dan Wakil Gubernur) Sumatera Barat,  bahkan makin marak. Seiring dengan maraknya media sosial, grup-grup WhatsApps (WA), Facebook (FB), Instagram (IG), kritik dan cimeeh terhadap gubernur juga makin masif dan bahkan terlihat sangat bebas sebebas-bebasnya. Masyarakat di ranah maupun di rantau yang sebagian besar akrab dengan media sosial tentu sangat merasakan hal yang demikian.

Saya yang aktif di banyak grup WA dan memiliki akun FB dan IG, juga menangkap hal ini. Kritikan kepada Gubernur Sumbar khususnya, sering dan ada kalanya sangat keras, pedas, bahkan kalau dimasukkan dalam hati (bila gubernur dan keluarganya membaca) bisa membuat sakit hati atau tersinggung berat. Kalau ada istilah paling kasar untuk mengatakannya, bisa disebut kritik itu kadang sampai “tidak termakan oleh anjing”. Sebagian (besar?) kritik tersebut tidak hanya ditujukan kepada gubernur sebagai pemimpin dan kepala daerah – pemimpin pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan – tetapi banyak pula yang menyerang pribadi bahkan keluarga sang pemimpin.

Kritik dan cimeeh seperti itu tidak hanya dialami oleh gubernur kepala daerah Sumatera Barat, tetapi hampir oleh semua pemimpin daerah, bupati dan wali kota, di Sumatera Barat.

Apa motifnya? Macam-macam! Ada kritik yang objektif  dan konstruktif, disertai saran-saran perbaikan dan jalan keluar, karena mereka menginginkan Sumatera Barat yang lebih baik, lebih maju, dan rakyatnya lebih sejahtera. Tapi  banyak pula kritik yang bermotifkan kepentingan politik (karena partai dan junjungan berbeda dan kalah dalam pilkada) atau karena kepentingan kelompok atau pribadinya tidak terpenuhi. Dan ada pula yang mengkritik karena memang hobinya mengkritik dan asal tampil beda saja. Dua motif kritik yang terakhir ini biasanya lebih marak di saat-saat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti saat ini.

Sumbar Maju atau Mundur?

Kritik jelas bukan pujian. Karena itu, yang dikritik biasanya adalah kekurangan dan kelemahan dari sang pemimpin maupun kinerjanya. Namun apapun, setiap kritik tentu idealnya harus dilakukan secara objektif, dilihat secara komprehensif, dengan perbandingan-perbandingan yang terukur, atau berdasarkan target-target dan janji-janji yang pernah dibuat dan disampaikan di masa kampanye. Dalam hal ini termasuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah lima tahunan yang dituangkan dari visi dan misi calon gubernur/wakil gubernur terpilih, yang disusun di awal masa jabatannya.

Topik diskusi yang lazim dalam mengkritik pemimpin daerah adalah seputar subjek “apakah Sumbar maju atau (malah) mundur” dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir. Biasanya dikaitkan dengan periode jabatan kepala daerah. Begitu juga yang mengemuka akhir-akhir ini, seputar pertanyaan apakah Sumbar maju, stagnan, atau bahkan mundur di bawah kepemimpinan Gubernur Mahyeldi dan Wakil Gubernur Audy Joinaldy? Bahkan juga ada yang mempertanyakan dan mengemukakan kritik dikaitkan dengan partai politik gubernur. Selama tiga periode dipimpin gubernur dari PKS apakah Sumbar maju atau malah stagnan kalau tidak dikatakan mundur.

Guna membahas pertanyaan dan kritik demikian, supaya objektif, tentu kita harus menggunakan indikator dan data statistik yang lazim.  Misalnya dari indikator makro (umum) yang merupakan indikator gabungan (komposit) dari berbagai kegiatan pembangunan ekonomi maupun sosial. indikator makro pembangunan bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, pendapatan perkapita, penurunan jumlah penduduk miskin, angka pengangguran dan lain-lain. Sedangkan indikator sosialnya antara lain bisa dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  

Karena yang sedang hangat sekarang adalah isu berkaitan dengan Pilkada atau Pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2024 yang tinggal enam bulan (27 November 2024), saya secara khusus hanya ingin melihat  capaian pembangunan  Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Mahyeldi-Audy (sejak 2021). Berbeda dengan periodisasi jabatan gubernur sebelumnya, khususnya periode Mahyeldi-Audy hanya efektif selama tiga tahun, karena ketentuan Pilkada 2024.

Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat 2021 – 2003 tercatat masing-masing 3,29 persen, 4,36 persen, dan 4,62 persen, sedikit di bawah pertumbuhan nasional yang masing-masing 3,69 persen, 5,31 persen, dan 5,01 persen dalam periode yang sama. Namun pertumbuhan ekonomi Sumbar 2023 (4,62 persen) itu sedikit lebih tinggi dibandingkan target RPJMD yang 4,57 persen. Khusus pertumbuhan 2023, juga lebih tinggi dibandingkan provinsi tetangga Riau (4,21 persen), Bengkulu (4,21 persen), namun sedikit lebih rendah daripada Jambi (4,66 persen) dan Sumatera Utara (5,01 persen).

Dalam hal pendapatan perkapita sebesar Rp50,25 juta (2023), Sumatera Barat yang tidak memiliki industri besar dan sumber daya alam seperti minyak, gas dan mineral lainnya, memang berada di bawah nasional sebesar Rp75,0 juta. Tapi PDRB per kapita Sumatera Barat masih lebih tinggi dibandingkan Aceh (Rp38,9 juta), Bengkulu (Rp43,75 juta), dan Lampung (Rp44,9 juta). Bahkan dibandingkan Provinsi Jawa Barat (Rp49,4 juta) yang banyak ditopang industri besar, per kapita Sumbar ternyata agak lebih baik.

Namun, kalah dalam hal pendapatan per kapita, Sumatera Barat lebih baik dalam pemerataan pembangunan dan tingkat kemiskinan. Dengan angka Gini Rasio 0,28 (terendah di Indonesia: 0,38), Sumatera berhasil menekan tingkat kemiskinan dari 6,56 persen tahun 2020 menjadi 5,95 persen tahun 2023. Angka ini jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional 9,36 persen, dan posisi Sumatera Barat tercatat terendah nomor 6 di Indonesia dan paling rendah di antara 8 provinsi di Pulau Sumatera.

Di bidang pembangunan sosial, sebagai akumulasi dari capaian di bidang pendidikan dan kesehatan yang menghasilkan kualitas SDM, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Sumatera Barat ternyata termasuk paling tinggi di Sumatera dan Indonesia umumnya. Dengan IPM 75,64 (meningkat dari 74,29 tahun 2020), Sumatera Barat menempati posisi kedua tertinggi di Sumatera (di bawah Kepri), dan nomor 7 tertinggi secara nasional (rata-rata nasional 74,39).

Dari berbagai indikator pembangunan makro tersebut, kita semua bisa menarik kesimpulan apakah Sumbar maju atau mundur, atau stagnan saja, dalam beberapa tahun terakhir ini.

Lalu bagaimana pula capaian Sumatera Barat di bidang-bidang lain, seperti pembangunan infrastruktur. Keluhan atau kritik mengenai banyaknya jalan nasional dan jalan provinsi yang mengalami rusak berat, dan lambatnya realisasi pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru pada seksi-seksi wilayah di Sumatera Barat, tentu perlu pula dikaji dan dibahas. Karena keterbatasan ruang, Insya Allah soal ini akan kita ulas dan bahas dalam tulisan berikutnya. (*) 

Exit mobile version